REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Sayyidah Khadijah adalah istri pertama Nabi Muhammad SAW. Dialah yang mula-mula beriman kepada beliau SAW. Tahun kepergiaannya dan juga paman Nabi SAW, Abu Thalib dari dunia fana digelari sebagai Tahun Duka Cita (Aamul Huzni) dalam semua sirah nabawiyah.
Di antara historiografi yang mencoba menyelami keindahan akhlak sosok Khadijah binti Khuwailid adalah buku karangan Abdul Mun`im Muhammad Umar yang berjudul Khadijah ummul Mu'minin: Nazharat fi Isyraqi Fajril Islam. Kitab itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Tinta Abadi Gemilang dan Bukuinspirasiku menjadi Khadijah: Cinta Sejati Rasulullah.
Beliau RA adalah istri sekaligus teman seperjuangan yang sangat setia dan tulus. Secara silsilah, garis nasabnya bertemu dengan Nabi SAW pada sosok Qusai bin Kilab. Adapun dari jalur ibu, keduanya bertemu pada kakeknya yang kedelapan, Lu'ay bin Ghalib.
Pertemuan pertama kedua insan itu terjadi dalam rangka hubungan kemitraan bisnis. Banyak di antara pembaca yang mungkin sudah hafal alur ceritanya. Khadijah saat itu merupakan seorang janda yang kaya raya dan terbilang sukses dalam mengelola kafilah-kafilah dagang.
Sementara itu, Muhammad SAW sudah terlibat dalam dunia perdagangan sejak berusia belia. Bersama dengan sang paman, Abu Thalib, sosok yatim piatu itu pernah mengadakan perjalanan hingga ke negeri Syam (Suriah) untuk berdagang. Rasulullah SAW baru mengelola bisnis secara mandiri ketika usianya remaja.
Beliau SAW berdagang bersama as-Saib bin Abus-Saib, seorang rekanan terbaik yang tidak pernah curang ataupun berselisih. Suatu kesempatan, Khadijah RA mena warkan kepada Muhammad SAW untuk membawa barang dagangannya ke negeri Syam.
Begitu tuntas urusan bisnis ini, Nabi SAW ternyata pulang dengan membawa keuntungan yang sangat banyak. Bagaimanapun, Khadijah terpikat bukan oleh profit materi itu, melainkan pada kepribadian sang al-Amin, yang selalu jujur dan apa adanya.
Kisah yang sudah marak beredar, hanya disebutkan betapa Khadijahlah yang menawarkan supaya Muhammad SAW bersedia menikah dengannya. Namun, apakah sesederhana itu? Bagaimana kisah sebenarnya diungkapkan secara detail di dalam karya Abdul Mun'im Muhammad Umar tersebut.
Bagi sang penulis, dengan meminang Muhammad SAW, Khadijah sebenarnya sedang menciptakan sebuah tradisi yang memihak dan menghormati perempuan. Apa lagi, pertimbangannya bukanlah pernikahan untuk kemudahan bisnis perniagaan. Pilihan Khadijah atas Muhammad SAW lebih didasarkan pada budi pekerti yang mulia dan perilaku yang luhur.
Kendati, memang harus diakui Muhammad SAW juga terbukti mampu menjaga dan mengembangkan aset-aset bisnisnya. Maka dari itu, apa yang dilakukan Khadijah, sang janda kaya raya, cantik, dan berpengaruh, itu sesungguhnya suatu perjuangan emansipasi perempuan. Abdul Mun'im menarasikannya secara memukau, dengan tetap merujuk pada sumber-sumber historis yang tepercaya.