REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Seorang ulama kelahiran Baghdad, Ibn Abi ad-Dunya, mengarang sebuah karya khusus yang mengupas tentang apa dan bagaimana gambaran tentang hari kiamat. Tokoh bernama lengkap Abdullah bin Muhammad bin Abid bin Sufyan bin Qais, Abu Bakar bin Abi ad-Dunya al-Baghdadi al-Qurasyi, melalui kitabnya yang berjudul Al-Ahwal, tampaknya ingin menyampaikan satu pesan bahwa persiapan mutlak dilakukan untuk menghadapi hari itu.
Hal ini ia lakukan karena, menurut pengamatannya, umat manusia kian lalai dengan dahsyatnya kiamat dan segala apa yang terjadi berikutnya.
Mengawali pembasahan kitabnya, Ibn Abi ad-Dunya yang terkenal fasih dan sastrawan itu mengemukakan tentang pentingnya memunculkan kesadaran bahwa kiamat seakan-akan datang tak lama lagi. Sikap ini akan membantu untuk lebih giat lagi berbuat kebaikan.
Ia pun menyitir hadits yang menyeru untuk serius beribadah karena tujuh hal. Salah satunya ialah akan datangnya kiamat sebagai peristiwa yang teramat mengerikan lagi pahit. Masih dalam hadis yang sama, keenam hal lainnya itu ialah menunggu kecuali kemiskinan yang dilupakan, kekayaan yang menyesatkan, sakit yang membinasakan, kepikunan yang meniadakan, kematian yang disiagakan, Dajjal sebagai makhluk terjahat yang ditangguhkan kedatangannya.
Kian dekat
Selain hadits tadi, ulama yang pernah mengajar al-Muktafi Billah, khalifah ke-18 Dinasti Abbasiyah itu, mengutip pula sebuah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah. Dalam hadis riwayat Jabir bin Abdullah, Rasulullah mengisyaratkan kian dekatnya kiamat.
Nabi SAW mengibaratkannya jarak waktu terjadinya kiamat dengan dua jari, telunjuk dan jari tengah. Dan, begitu menyebut persoalan kiamat, ekspresi wajah Rasulullah mendadak berubah. Mukanya memerah seperti saat ia memberi instruksi kepada para tentaranya untuk berperang.
Bahkan, hari kiamat dijadikan bahan ejeken oleh orang kafir. Mereka meledek Rasulullah dengan menanyakan berulang kali kepada beliau kapankah kiamat akan datang? Untuk menjawab pertanyaan itulah, turun ayat 42-44 surah an-Nazi'at:
يَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ السَّاعَةِ اَيَّانَ مُرْسٰىهَاۗ فِيْمَ اَنْتَ مِنْ ذِكْرٰىهَاۗ اِلٰى رَبِّكَ مُنْتَهٰىهَاۗ
"(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan, kapankah terjadinya. Siapakah kamu (maka) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Tuhanmulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya)."
Kehadiran kiamat yang seakan menghampiri umat manusia itu pun memotivasi para salaf untuk meningkatkan kesalihan pribadi. Mereka tak menyia-nyiakan waktu dan sisa hidup yang dimiliki. Suatu saat, al-Ahnaf bin Qais hendak berpuasa sunah. Ia pun ditanya perihal alasannya kerap menjalankan puasa itu.
Al-Ahnaf menjawab, amalan puasa yang ia lakukan adalah bekal dan tabungan berharga untuk menghadapi hari dengan tingkat kedahsyatan dan kengerian luar biasa. Ia pun membaca ayat ke-11 surah al-Insan, "Maka, Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu dan memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati."