REPUBLIKA.CO.ID -- Di negeri yang pernah dilanda bencana kelaparan ini, agama Islam menempati urutan dua terbanyak setelah Kristen Ortodoks.
Makkah, bulan Rajab tahun ketujuh Sebelum Hijriyah (SH)/615 M, di tengah kegelapan malam yang mencekam, 12 pria dan empat wanita sahabat Rasulullah SAW mengendap-endap meninggalkan Makkah.
Dua perahu yang terapung di Pelabuhan Shuaibah siap mengantarkan mereka menuju ke sebuah negeri untuk menghindari kemurkaan dan kebiadaban kafir Quraisy.
Negeri yang mereka tuju itu bernama Habasyah atau Abyssinia dan kini dikenal sebagai negara Ethiopia--sebuah kerajaan di daratan benua Afrika. Para sahabat itu hijrah ke Habasyah atas saran Rasulullah SAW. Ditetapkannya Habasyah sebagai tempat pengungsian karena Raja Negus (Najasyi) yang berkuasa di negeri itu dikenal sebagai orang yang adil, lapang hati, dan suka menerima tamu.
Inilah proses hijrah pertama yang dilakukan kaum Muslim sebelum peristiwa hijrah ke Madinah. Di antara sahabat yang hijrah ke Ethiopia itu antara lain adalah Usman bin Affan dan istrinya Ruqayyah yang juga putri Rasulullah SAW serta sahabat dekat lainnya.
Setibanya di Ethiopia, mereka disambut dengan penuh keramahan dan persahabatan. Inilah kali pertama ajaran Islam tiba di Afrika. Raja Ethopia lalu menempatkan mereka di Negash yang terletak di sebelah utara Provinsi Tigray. Wilayah itu lalu menjadi pusat penyebaran Islam di Ethiopia yang masuk dalam bagian Afrika Timur.
Setelah tiga bulan menetap di Ethiopia dan mendapat perlindungan, para sahabat mencoba kembali pulang ke kampung halamannya, Makkah. Namun, situasi Makkah ternyata belum aman. Rasulullah SAW lalu memerintahkan umat Muslim agar kembali ke Ethiopia untuk yang kedua kalinya. Jumlah sahabat yang hijrah pada gelombang kedua itu terdiri atas 80 sahabat. Rasulullah pun berpesan kepada para sahabat untuk menghormati dan menjaga Ethiopia.
Orang kafir Quraisy lalu mengirimkan utusannya, Amr bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi'ah al-Makhzumi, untuk menghadap Raja Najasyi. Keduanya meminta Raja Najasyi mengusir umat Islam dari tanah Ethiopia. Permintaan orang kafir Quraisy itu ditolak Raja Najasyi dan para sahabat tetap tinggal di negeri itu hingga Rasulullah SAW hijrah ke Madinah. Tak semua sahabat kembali berkumpul dengan Rasulullah SAW, sebagian di antara mereka memutuskan menetap di Ethiopia. Mereka lalu menyebarkan agama Islam di wilayah timur 'benua hitam' itu.
Perlawanan Nasrani
Perlahan, namun pasti, agama Islam pun mulai berkembang di Ethiopia. Pada mulanya, Islam berkembang di wilayah pesisir selatan Afrika, khususnya Somalia. Setelah itu, banyak penduduk Ethiopia yang memutuskan memeluk agama Islam. Berkembang pesatnya agama Islam di Ethiopia tak berjalan mulus dan mendapatkan perlawanan dari umat Nasrani yang berada di wilayah utara Ethiopia, seperti Amhara, Tigray, serta Oromo.
Meskipun orang-orang Oromo sehari-hari mempraktikkan tradisi Waaqa yang dipengaruhi budaya Islam, kenyataannya mereka tak suka Islam berkembang di Ethiopia. Sejarawan Ulrich Braukamper berkomentar, ''Ekspansi yang dilakukan orang non-Muslim Oromo selama berabad-abad di wilayah selatan Ethiopia bertujuan untuk menghapuskan Islam dari kawasan itu.''
Namun, upaya itu tak pernah berhasil. Hingga kini, Islam tetap eksis dan menjadi agama terbesar kedua di Ethiopia setelah Nasrani. Berdasarkan sensus pada 2007, jumlah penduduk Muslim di Ethiopia mencapai 33,9 persen dari total populasi di negara itu.
Mayoritas umat Islam di negeri itu kebanyakan berada di Somalia, Afar, serta Oromo. Selain itu, umat Islam juga tersebar di Amhara, Tigray, dan Gurage.
Umat Islam mencapai kejayaannya di negeri yang mayoritas penduduknya beragama Nasrani itu saat mampu mendirikan kesultanan Muslim. Beberapa kesultanan Muslim yang pernah berkuasa di Ethiopia antara lain adalah Kesultanan Adal di timur Ethiopia; Kesultanan Aussa di timur laut Ethiopia; Kesultanan Harar di timur Ethiopia; Kesultanan Ifat di timur Ethiopia; serta Kesultanan Shewa di Ethiopia bagian tengah.
Kelompok Taqiah
Setelah meredupnya kejayaan kesultanan Muslim di Ethiopia, posisi umat Islam kian terimpit. Kondisi mengenaskan itu mulai terjadi ketika di penghujung 1890-an, Raja Yohanes IV mengeluarkan kebijakan untuk mengkristenkan Ethiopia. Akibat kebijakan yang diwarnai kekejian itu, banyak umat Muslim yang akhirnya memiliki keyakinan ganda. Siang hari, mereka berpura-pura mengaku Kristen, namun pada malam hari mereka menjadi Islam dan melakukan ibadah.
Prinsip ini dalam Islam dikenal dengan nama Taqiah atau menyembunyikan keyakinan diri demi keselamatan diri. Strategi kaum Muslim Ethiopia yang menutupi keyakinan yang sebenarnya itu ditulis secara menarik oleh Najib Kailani dalam novelnya yang berjudul Bayang-Bayang Hitam. Sebagian Muslim yang tak mau taqiah (menyembunyikan keyakinan) akhirnya memilih hijrah ke tempat lain.
Mereka mulai membanjiri wilayah perbatasan menuju Hijaz. Namun, ada juga yang tak mau taqiah, tapi tetap menetap di Ethiopia. Mereka yang memilih sikap untuk menunjukkan jati diri keislamannya itu lalu disebut penguasa sebagai pemberontak. Mereka adalah umat Islam yang tak mau kompromi dengan urusan tauhid dan iman.
Para ulama dan umat Islam pun bangkit menolak perlakukan Raja Yohanes IV. Ulama pertama yang angkat senjata melawan kebijakan penghapusan Islam dari Ethiopia itu adalah Ali Adam. Ulama yang disegani itu memulai perjuangannya di Shawa. Bersama pengikutnya, dia dihadang tentara bentukan Raja Yohanes IV di Wahelo, kawasan sebelah barat laut danau Hayk. Di tempat ini, Shaikh Ali Adam dan pengikutnya syahid.
Setelah Syekh Ali Adam, muncul Thalha. Dia memimpin perlawanan terhadap pemaksaan pemurtadan. Dia juga yang menentang perintah membangun gereja yang ditujukan kepada umat Islam. Pemberontakan mengakibatkan gereja yang dibangun umat Islam hancur berantakan. Kelompoknya juga berhasil mengalahkan pasukan kerajaan Yohanes yang dipimpin Ras Mikael.