REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nabi Muhammad SAW kerap ditawari jabatan mentereng oleh kaum kafir Quraisy. Bahkan tak hanya itu, beliau juga ditawari jabatan oleh Allah yang prestisius.
Allah menawarkan Nabi SAW untuk memilih apakah hendak menjadi raja ataukah hanya seorang hamba. Ketika diberikan penawaran tersebut, Rasulullah pun tidak memutuskannya seorang diri melainkan meminta saran dan nasihat kepada Jibril. Mengapa demikian?
Dalam buku Harta Nabi karya Abdul Fattah As-Samman dijelaskan, ketika Nabi disuruh memilih, beliau tidak memilih sendiri. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT dalam Alquran Surah An-Najm ayat 4 berbunyi: “In huwa illa wahyu, yuha,”. Yang artinya: “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),”.
Nabi justru meminta pertimbangan dan saran dari Jibril dan kemudian Jibril menyarankannya agar tetap bersikap rendah hati. Maka, Nabi mengikuti saran Jibril dan menjalankannya. Dalam kitab At-Tawadhu wa Al-Khumul, terdapat salah satu dalil yang membuktikan Nabi tidak memilih sendiri antara menjadi raja atau hamba.
Dalil tersebut adalah sebuah hadits mursal riwayat As-Sya’bi, Rasulullah berkata: “Tuhanku menyuruhku memilih di antara dua perkara: menjadi hamba sekaligus rasul atau menjadi raja sekaligus nabi. Aku tidak tahu yang mana dari keduanya yang akan aku pilih. Aku mengangkat kepala lalu Jibril berkata: rendah hatilah kepada Tuhanmu. Maka kemudian aku menjawab: hamba sekaligus rasul,”.
Dijelaskan dalam hadis di atas, nampak jelas Rasulullah SAW tidak memilih sendiri jabatannya namun terlebih dahulu memohon petunjuk dan nasihat dari Jibril. Dan beliau setuju dengan pendapat Jibril karena kehambaan merupakan status yang lebih tinggi kedudukannya daripada gelar raja di samping Nabi suka menempati kedudukan wasilah.