REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Usai enam tahun berhijrah dari Makkah ke Madinah, berkecamuk di hati Nabi Muhammad SAW perasaan rindu akan kampung halaman. Di kala kerinduan itu membuncah, raut wajah Nabi murung sebelum akhirnya beliau tersenyum melihat Hasan dan Husain.
Dalam kitab Muhammad Sang Teladan karya Abdurrahman As-Syarqawi dijelaskan, suatu ketika Nabi menatap dalam kedua cucunya, Hasan dan Husain, yang tengah bermain-main dengannya. Husain bersembunyi di kamarnya, sedangkan sang kakek memperhatikan kedua anak itu sambil tertawa riang.
Nabi memandangi mereka berdua sambil menaruh rasa kasihan bahwa keduanya masih sangat kecil namun hidup dalam perantauan. Kedua anak itu dilahirkan, kemudian dibawa merantau ke suatu negeri yang jauh tatkala keduanya baru pertama kali belajar melangkahkan kakinya.
Di saat Nabi tengah memperhatikan, Husain naik ke pundak Nabi. Kemudian Fatimah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang merupakan orang tua mereka masuk dan menggertak Husain yang naik ke pundak Nabi Muhammad SAW. Namun Nabi justru meminta Sayyidina Ali agar jangan menggertak anak tersebut.
Meski dalam kerinduan besar terhadap kampung halaman, Nabi Muhammad seolah disejukkan hatinya dengan pemandangan dari kedua cucunya. Setelah itu, Fatimah menanyakan perihal apa yang membuat raut mata Nabi nampak begitu sedih meski telah berhasil dalam pertempuran melawan Bani Quraizhah.
Dari kedua mata Nabi, Fatimah melihat linangan air maya yang terus mengucur. Karena itulah, Fatimah bermaksud meninggalkan ayahnya dan mengisyaratkan kepada Sayyidina Ali agar meninggalkan ayahnya saja. Fatimah ingin memberikan Nabi kesempatan bersama Hasan dan Husain, sebab tak ada orang yang mampu menjadi pelipur lara hati orang tua yang sedang berduka jika dibanding dengan kehadiran cucu-cucunya.