Kamis 01 Oct 2020 10:47 WIB

Teladani Nabi Muhammad dalam Memuliakan Wanita

Sebelum kedatangan Nabi Muhammad, wanita tak dipandang seutuhnya sebagai manusia.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Mencintai Nabi Muhammad SAW (ilustrasi)
Mencintai Nabi Muhammad SAW (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH --  Sebelum kedatangan Islam sebagaimana yang didakwahkan Nabi Muhammad SAW, bangsa Arab kala itu dipenuhi tradisi jahiliyah yang mengakar. Maka, begitu Islam disebarluaskan Nabi, teladannya menjadi contoh yang patut untuk ditiru saat itu hingga kini.

Di dalam kitab Muhammad Sang Teladan karya Abdurrahman As-Syarqawi dijelaskan, tradisi jahiliyah yang mengakar di Makkah memang sangat kuat. Misalnya, status perempuan yang tidak pernah dianggap sebagai manusia seutuhnya kerap dijadikan sebuah komoditas seksual semata.

Baca Juga

Tidak ada hukum yang mengatur laki-laki untuk membatasi kuantitas istri yang dimiliki. Bahkan tak sedikit pula yang tidak membutuhkan istri karena dapat memenuhi nafsu birahinya kepada wanita-wanita yang ada kala itu.

Suramnya tradisi jahiliyah ini pun lambat laun dihapuskan oleh Nabi. Dalam buku Sunah Monogami karya Ustaz Faqihuddin Abdul Kodir dijelaskan, Nabi Muhammad yang lahir dan tumbuh besar di kalangan tradisi jahiliyah mampu mengubah dan mengarahkan tradisi ke arah yang lebih baik.

Salah satu contohnya adalah melalui teladan pernikahan. Nabi memulai pernikahannya dengan Sayyidah Khadijah, wanita Quraisy yang terpandang dan memiliki akhlak terpuji.

Sebelum bertemu Sayyidah Khadijah, tidak pernah sekalipun Nabi melampiaskan syahwatnya kepada perempuan-perempuan Makkah lain sebagaimana yang lumrah terjadi pada pria dari kalangan bangsa Arab Makkah kala itu.

Bahkan setelah menikahi Sayyidah Khadijah, Nabi memberikan teladan bagaimana harusnya seorang suami memperlakukan istri. Tak pernah sekalipun Nabi menyakiti perasaan Sayyidah Khadijah apalagi memukulnya.

Dan bahkan, hingga akhir hayat Sayyidah Khadijah, Nabi tak melakukan poligami sama sekali apalagi melakukan perzinaan dengan wanita-wanita malam Makkah.

Dalam buku The Islamic Law karya Usman Efendi dijelaskan, sebelum Islam hadir poligami kerap dilakukan dengan kuantitas yang tak terbatas. Maksudnya, praktik poligami bagi laki-laki bisa dilakukan sebanyak-banyaknya dengan wanita-wanita yang mereka senangi.

Maka, melalui teladan pernikahan Nabi dengan Sayyidah Khadijah yang mulia itu, Nabi perlahan-lahan mendakwahkan bagaimana agama mengatur perihal pernikahan. Aktivis Gender Islam Ustazah Nur Rofiah menyebut, dakwah Nabi soal pembatasan pernikahan dilakukan dengan tahapan-tahapan.

Yang mana tahapan awal dimulai dengan membatasi kuantitas istri pada masa jahiliyah yang tadinya dapat dilakukan sebanyak-banyaknya, kini dibatasi hanya boleh empat saja. Tentu saja secara psikologis dan kultural dipertimbangkan, sebab apabila dilakukan pembatasan dengan maksimal satu istri saja, hal ini sulit diterima bagi laki-laki Arab yang kala itu dipenuhi tradisi jahiliyah.

Namun demikian, tak sedikit juga para ulama yang berpendapat bahwa sunah Nabi yang sesungguhnya adalah pernikahan yang menganut sistem monogami saja. Sebab dengan monogami terjadilah sebuah keadilan yang dapat dirasakan di dalam rumah tangga.

Di dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 3, Allah SWT berfirman: "Wa in khiftum ala taqsithu fil-yatama fankihu maa thaba lakum min an-nisa-i mastsna wa tsuasa wa ruba’a, wa in khiftum alla ta’dilu fawaahidatan aw maa malakat aymanikum. Dzalika adzna alla ta’diluu,”.

Yang artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim, maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi (yang mereka juga senang denganmu): dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka nikahilah seorang saja. Yang demikian itu adalah tindakan yang lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya,”.

Disebutkan, tak sedikit para ulama yang berpendapat bahwa ayat tersebut bukan berarti perintah atau anjuran untuk berpoligami. Sebab untuk memahaminya lebih jauh, seseorang perlu melihat konteks ayat tersebut secara menyeluruh baik dari sisi bahasa, historis, hingga kondisi yang terjadi di saat ayat itu diturunkan (asbabun nuzul).

Dijelaskan juga bahwa jika seseorang hendak mengikuti sunah Nabi, maka sejatinya sunah Nabi yang lain banyak terserak di bidang apapun. Jangan sampai, kerancuan dalam memahami suatu ayat malah dijadikan alasan untuk melakukan poligami dengan dalih sunah Nabi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement