REPUBLIKA.CO.ID,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَٰذَا غَافِلِينَ
“Tatkala Allah SWT bertanya kepada, ''Bukankan Aku ini Tuhanmu?'' Mereka menjawab, ''Betul (Engkau adalah Tuhan kami), kami menjadi saksi. (Kami lakukan ini) agar di hari kiamat nanti kami tidak mengatakan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Allah).'' (QS Al-A'raf [7]: 172).
Setiap manusia menyatakan janji dan komitmen untuk senantiasa menuhankan Allah SWT dan menyembah hanya kepada-Nya.
Dalam kitabnya, Tafsir Al-Quran Al-Adzhim, Ibnu Katsir menjelaskan, iman dan syahadah seperti disebut dalam ayat di atas, adalah iman dalam bentuk fitrah yang merupakan kecenderungan atau watak dasar manusia.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS Ar-Rum [30]: 30).
Itu sebabnya sebagian pakar menyebut iman dan syahadah semacam ini sebagai 'perjanjian primordial' yang intrinsik dan inheren menyertai setiap kelahiran anak manusia.
Namun, sebagaimana disebutkan dalam hadis shahih, setelah manusia mendapat pengaruh dari keluarga dan lingkungan sosialnya, ia bisa berubah dari fitrahnya dan tumbuh menjadi orang kafir sebagai Yahudi, Nasrani, atau Majusi. Kepada orang-orang yang menyimpang dari fitrahnya ini, Allah SWT menegur dan mengingatkan kembali janji primordialnya yang dahulu pernah dideklarasikan.
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ ۖ
''Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah setan.'' (QS Yasin [36]: 60).
Teguran Allah SWT dalam ayat di atas sungguh penting, agar kita tidak lalai dan lupa kepada-Nya. Manusia modern, tulis Profesor Sayyid Husain Nashr, berada di pinggiran, jauh dari 'centrum' pusat kehidupan, yaitu Allah SWT. Dikatakan, hubungan mereka dengan Allah SWT begitu jauh, bahkan hampir terputus sama sekali. Tak heran bila mereka banyak mengidap penyakit 'kehampaan spiritual' akibat terputus dari asalnya dan lupa terhadap janji primordialnya.
Diakui, di satu sisi Allah SWT sebagai asal dan sumber kehidupan bersifat transendent, yaitu Mahatinggi (ta'ala), sehingga tak ada sesuatu pun serupa atau menyerupai-Nya. Namun, di sisi lain, Allah SWT bersifat sangat inmanen, yaitu Mahadekat (qarib) dan Mahahadir (omni-present).
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS Al-Baqarah [2]: 186).