REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di sejumlah masjid di daerah, ada beberapa masjid yang masih konsisten dalam menyampaikan khutbahnya dengan bahasa Arab secara penuh. Hal ini rupanya telah menjadi pembahasan ulama sejak dulu.
Menurut H Sulaiman Rasjid dalam bukunya yang berjudul Fiqh Islam, disebutkan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa khutbah itu hendaknya dengan bahasa Arab. Karena di masa Rasulullah SAW dan sahabat selalu berbahasa Arab.
Namun, menurut H Sulaiman Rasjid yang alumni sekolah Mualim di Mesir pada 1926 dan Universitas Al-Azhar Kairo Mesir jurusan Takhashus Fiqh (Ilmu Hukum Islam) pada 1935 itu, ulama yang berpendapat ini lupa bahwa keadaaan di waktu itu hanya memerlukan bahasa Arab karena bahasa itulah bahasa yang umum dipergunakan oleh para pendengar.
Mereka lupa bahwa maksud mengadakan khutbah Jumat itu adalah memberikan pelajaran dan nasihat kepada kaum Muslimin. Dan, yang mendengar khutbah diperintahkan supaya insaf (mendengarkan dan memperhatikan isi khutbah itu).
Allah SWT berfirman dalam surat Al A'raf 204:
وَإِذَا قُرِئَ ٱلْقُرْءَانُ فَٱسْتَمِعُوا۟ لَهُۥ وَأَنصِتُوا۟ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Wa iżā quri`al-qur`ānu fastami'ụ lahụ wa anṣitụ la'allakum tur-ḥamụn
Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
Menurut H Sulaiman Rasjid yang merupakan salah seorang pendiri IAIN Radin Intan Lampung tahun pada 1964 dan diangkat menjadi besar Ilmu Fikih di PTAIN Yogyakarta pada 1960 ini, jika berkhutbah dengan bahasa yang tidak dipaham oleh si pendengar, sudah tentu maksud khutbah itu akan sia-sia belaka. Dan si pendengar akan di persalahkan pula karena tidak menjalankan perintah (memperhatikan khutbah).
Sednagkan perintah itu tidak dapat mereka jalankan karena tidak mengerti, berarti kekuatan mereka tidak cukup untuk menjalankan perintah tersebut.
Jadi memberikan pekerjaan kepada orang yang sudah terang tidak dapat mengerjakannya, perintah yang demikan tidak berfaedah. Hal ini tentu tidka layak timbul dari agama Islam yang adil.
Allah berfirman dalam Surat Ibrahim ayat 4:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِۦ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ ۖ فَيُضِلُّ ٱللَّهُ مَن يَشَآءُ وَيَهْدِى مَن يَشَآءُ ۚ وَهُوَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ
Wa mā arsalnā mir rasụlin illā bilisāni qaumihī liyubayyina lahum, fa yuḍillullāhu may yasyā`u wa yahdī may yasyā`, wa huwal-'azīzul-ḥakīm
Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.
Menurut H Sulaiman Rasjid, Allah mengirim utusan-Nya dengan bahasa yang dapat dipahami oleh kaum yang diperintah, supaya utusan itu berfaedah kepada mereka.
Dengan keterangan yang singkat di atas itu, menurut H Sulaiman Rasjid, kurang tepat pendapat sebagian ulama yang mengharuskan khutbah dalam bahasa Arab. Dan, teranglah kepada kita agar khutbah di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia agar supaya khutbah itu berguna kepada pendengar dan supaya pendengar juga tidak berdosa, karena melanggar perintah (dari isi khutubah). Juga khutbah itu hendaklah berisi perkara-pekara yang berguna kepada si pendengar di masa itu, urusan yang bersangkut dengan umum.