Jumat 25 Sep 2020 05:59 WIB

Penjelasan Rinci Mengapa Masker Sholat Saat Pandemi Boleh

Hukum memakai masker pada dasarnya harus dilihat konteks dan illatnya.

Hukum memakai masker pada dasarnya harus dilihat konteks dan illatnya.  Ilustrasi sholat pakai masker.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Hukum memakai masker pada dasarnya harus dilihat konteks dan illatnya. Ilustrasi sholat pakai masker.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh KH A Muzaini Aziz, Lc, MA*

Judul di atas mungkin tidak menarik untuk diulas ketika tidak ada pendapat yang berselisih. Misalnya, jika semua sepakat bahwa boleh memakai masker saat sholat dalam keadaan pandemi Covid-19 seperti sekarang ini. Namun, saat terjadi perbedaan pendapat, meskipun pendapat tersebut ghayru mu’tabar (not recommended), tapi jika ia sudah terlanjur viral, maka rasanya judul di atas masih relevan untuk dibahas. 

Baca Juga

Seperti yang kita ketahui, ada pendapat yang cukup viral yang mengharamkan memakai masker saat sholat meskipun dalam keadaan pandemi. Dalil yang digunakan adalah hadist Rasulullah SAW:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يغطي الرجل فاه في الصلاة

Rasulullah SAW melarang seorang laki-laki menutup mulutnya saat sholat. 

Lalu, bagaimana validitas pendapat tersebut?  

Hukum Memakai Masker Ketika Sholat Dalam Kondisi Normal

Jika kita merujuk langsung kepada matan hadits di atas, secara eksplisit memang memuat “larangan”. Permasalahannya, apakah serta merta larangan itu berarti pengharaman? Di sini penting bagi kita untuk bertanya kepada ahlinya, yaitu kepada fuqahâ (para ahli fiqh).

Dalam Al-Majmû’ Syarh Al-Muhadzdzab  misalnya, kita dapati redaksi berikut: 

قال المصنف رحمه الله: يكره أن يصلي الرجل وهو متلثم لما روى أبو هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم: «نهى أن يغطي الرجل فاه في الصلاة» ويكره للمرأة أن تنتقب في الصلاة لأن الوجه من المرأة ليس بعورة فهي كالرجل.

Penulis (Imam As-Syayraziy) rahimahullâh berkata:

Makruh bagi laki-laki sholat sambil menutup wajah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Huraiyrah rahimahullâh bahwa Rasulallah shallallâhu ‘alayhi wa sallam: “Melarang seorang laki-laki untuk menutup mulutnya di dalam sholat”, dan makruh hukumnya bagi seorang perempuan untuk memakai cadar di dalam sholat karena wajah perempuan bukanlah aurat sebagaimana laki-laki.

Selanjutnya:   

الشرح: هذا الحديث رواه أبو داود بإسناد فيه الحسن بن ذكوان, وقد ضعفه يحيى بن معين والنسائي والدارقطني. لكن روى له البخاري في "صحيحه", وقد رواه أبو داود ولم يضعفه, والله أعلم. ويكره أن يصلي الرجل متلثما, أي مغطيا فاه بيده أو غيرها, ويكره أن يضع يده على فمه في الصلاة إلا ذا تثاءب, فإن السنة وضع اليد على فيه, ففي "صحيح مسلم" عن أبي سعيد أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «إذا تثاءب أحدكم فليمسك بيده على فيه فإن الشيطان يدخل», والمرأَة والخننثى كالرجل في هذا, وهذه كراهة تنزيه لا تمنع صحة الصلاة, والله أعلم.

Penjelasan (oleh  Imam An-Nawawi rahimahullâh): Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan mata rantai perawi yang di dalamnya terdapat Al-Hasan ibn Dzakwan. Ia (Al-Hasan ibn Dzakwan) di-dha’if-kan oleh Yahya ibn Ma’in, An-Nasa`i dan Ad-Daruquthni.

Namun Al-Bukhari memakai riwayatnya di dalam (kitab) “Shahih”-nya, Abu Dawud juga meriwayatkan haditsnya dan tidak men-dha’if-kannya, wallâhu A’lam. Dan makruh bagi seorang laki-laki untuk sholat sambil menutup wajahnya, atau menutup mulutnya dengan menggunakan tangannya atau selainnya, dan makruh untuk meletakkan tangannya di atas (menutupi) mulutnya saat sholat kecuali saat ia menuap, maka sunnahnya meletakkan tangannya di atas (menutupi) mulutnya, sebagaimana di dalam (kitab) “Shahih Muslim” dari Abi Sa’id bahwa Nabi shallallâhu ‘alayhi wa sallam bersabda: “Jika seseorang di antara kalian menguap maka tahanlah (tutuplah) mulutnya dengan tangannya karena sesungguhnya setan sedang masuk.” Hukum bagi seorang perempuan dan khunsta dalam hal ini juga sama seperti laki-laki. Dan ini (status hukumnya) adalah karâhah tanzîh yang tidak menghalangi keabsahan sholat, wallâhu A’lam.      

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan:

1. Hukum asal (dalam keadaan normal/bukan saat pandemi Covid-19 misalnya) memakai masker saat sholat adalah makruh, bukan haram;

2. Status ke-makruh-annya pun adalah karâhah tanzîh, dan bukan karâhah tahrîm.  

Sedikit ulasan tentang perbedaan antara karâhah tanzîh dan karâhah tahrîm:

1. Karâhah tahrîm adalah apa yang dituntut secara tegas oleh syariat untuk ditinggalkan dengan berdasar kepada dalil yang bersifat zhanniy (memungkinkan intepretasi lain), seperti khabar âhâd. Karâhah tahrîm lebih dekat kepada haram dalam arti sama-sama tidak boleh dilakukan dan sama-sama berdosa jika dilanggar. Namun orang yang mengingkari suatu hal yang berstatus hukum karâhah tahrîm, ia tidak bisa dikafirkan. Sementara orang yang mengingkari suatu hal yang berstatus hukum haram, ia dapat dikafirkan. 

2. Karâhah tanzîh adalah apa yang diminta tidak secara tegas oleh syariat untuk ditinggalkan.  Karâhah tanzîh lebih dekat kepada khilâful awlâ (menyelisihi yang utama) dalam arti lebih baik ditinggalkan daripada dilakukan. Pelaku karâhah tanzîh tidak berkonsekuensi dosa.

Yang perlu digarisbawahi, dalam keadaan normal, untuk apa pula kita memakai masker di dalam sholat. Meski hukumnya “hanya sekadar” makruh tanzih, toh tidak melakukan yang makruh tentu lebih baik. Kecuali kita sedang flu (pilek) misalnya, lalu kita khawatir jamaah sholat lainnya tertular virus flu yang kita derita, tentu itu lain soal.    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement