Ulama lain menilai bahwa kesahihan redaksi hadits ini perlu ditinjau ulang, meskipun terdapat dalam Shahih Muslim. Hal ini karena untuk memahami sebuah hadits dengan baik, perlu dilakukan al-jam’ (menghimpun) hadits-hadits yang semakna, baik dari thariq (jalur periwayatan) yang sama maupun dari thuruq yang berbeda-beda.
Diantara ulama hadits yang melakukan hal ini adalah Imam Baihaqi. Penjelasan beliau dapat dilihat dalam kitabnya Asma` wa Shifat dan Sunan Kubra.
Yang unik, dalam kitab Asma` wa Shifat ia mengatakan bahwa hadits Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami yang panjang itu memang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya, tapi tidak termasuk bagian yang berkaitan dengan budak wanita itu. Ia menjelaskan:
وَهَذَا صَحِيحٌ قَدْ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ مُقَطَّعًا مِنْ حَدِيثِ الْأَوْزَاعِيِّ وَحَجَّاجٍّ الصَّوَّافِ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ دُونَ قِصَّةِ الْجَارِيَةِ، وَأَظُنُّهُ إِنَّمَا تَرَكَهَا مِنَ الْحَدِيثِ لِاخْتِلَافِ الرُّوَاةِ فِي لَفْظِهِ. وَقَدْ ذَكَرْتُ فِي كِتَابِ الظِّهَارِ مِنَ السُّنَنِ مُخَالَفَةَ مَنْ خَالَفَ مُعَاوِيَةَ بْنَ الْحَكَمِ فِي لَفْظِ الْحَدِيثِ (الأسماء والصفات للبيهقي 2/325)
“Hadits ini sahih, diriwayatkan Imam Muslim dengan dipisah-pisah dari hadits al-Awza’i dan Hajjaj ash-Shawwaf dari Yahya bin Abu Katsir, selain kisah budak itu. Saya kira ia (Imam Muslim) meninggalkan bagian ini karena ada perbedaan para perawi tentang redaksi haditsnya. Saya sendiri telah menguraikan perbedaan para perawi tentang redaksi hadits ini dalam Sunan Kubra pada kitab azh-Zhihar.”
Ini artinya, di dalam kitab Shahih Muslim yang dijadikan rujukan Imam Baihaqi, tidak terdapat bagian yang terkait dengan kisah budak wanita itu. Tentunya, kitab Shahih Muslim yang dijadikan pegangan oleh Imam Baihaqi tidak diperolehnya secara sembarangan. Nuskhah yang ada padanya tentu nuskhah yang mu’tamad yang diperoleh dari guru-gurunya para ulama hadits yang sangat diakui. Hal ini ia sebutkan juga dalam Sunan Kubra (20/148).
Terlepas dari hal ini (tidak terdapatnya kisah tentang budak itu dalam Shahih Muslim yang dijadikan rujukan oleh Imam Baihaqi), faktanya bagian itu memang ada dalam nuskhah yang lain. Tentu bukan hal yang mudah untuk melacak nuskhah mana yang lebih shahih dan layak dijadikan rujukan, nuskhah Imam Baihaqi yang tidak memuat kisah tentang sang budak, atau nuskhah ulama lain yang memuat tentang itu.
Yang perlu menjadi perhatian di sini adalah Imam Baihaqi sendiri menegaskan terdapat ‘mukhalafah’ (pertikaian) dan ‘ikhtilaf’ (perbedaan) dalam hadits ini. Inilah yang mendasari sebagian ulama hadits mengatakan bahwa hadits jariyah ini bersifat mudhtharib. Idhthirab-nya bukan hanya tampak ketika dihadapkan kepada jalur periwayatan yang berbeda, tapi juga ketika dihadapkan pada redaksi lain dalam jalur periwayatan yang sama.
Redaksi hadits yang diriwayatkan Imam Muslim dari ‘Atha` bin Yasar, dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami, menyebutkan bahwa Nabi Saw bertanya secara lisan kepada sang budak, “Dimana Allah?” Sementara dari jalur yang sama, hadits ini diriwayatkan dengan redaksi :
فَمَدَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ إِلَيْهَا مُسْتَفْهِمًا مَنْ فِي السَّمَاءِ؟ قَالَتْ: اللهُ
“Nabi SAW membentangkan tangannya pada budak itu dalam bentuk bertanya (substansi pertanyaannya), “Siapa di langit?” Ia menjawab: Allah.” (sanad hadits ini bisa dilihat dalam Tuhfatul Asyraf 8/427).
Berarti Nabi SAW tidak bertanya secara lisan, “Dimana Allah?”. Nabi SAW hanya memberikan isyarat dengan tangan dalam bentuk bertanya.
Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa yang memberi isyarat dengan tangan justeru adalah si budak, karena ternyata ia seorang ‘ajam yang tidak bisa berbahasa Arab. Sehingga ketika Nabi bertanya, “Dimana Allah?” Ia hanya menunjuk ke langit tanpa berkata sepatah katapun (lihat takhrij haditsnya dalam tahqiq Syekh Syu’aib al-Arna`uth terhadap Musnad Ahmad 25/20).
Ada juga yang menyebut bahwa budak wanita itu sebenarnya bisu. Sehingga ia hanya bisa memberi isyarat dengan tangan ketika ditanya oleh Rasulullah SAW. Tapi saya pribadi belum menemukan riwayat tentang ini dalam kitab-kitab hadits yang saya telaah.
Itu baru dalam thariq (jalur periwayatan) yang sama yaitu dari Hilal bin Abi Maimunah, dari ‘Atha` bin Yasar, dari Mu’awiyah bin Hakam as-Sulami RA. Ketika dihadapkan pada thariq atau sanad yang lain, akan lebih tampak sisi idhthirab pada hadits ini.
Imam Malik meriwayatkan dalam kitab Muwatha`, Imam Abdurrazzaq dalam Musnannaf, Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad dan ulama-ulama hadits lainnya, bahwa Rasulullah SAW bertanya kepada budak itu :
أَتَشْهَدِينَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ ؟ فَقَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: أَفَتَشْهَدِينَ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ
“Apakah engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?” Budak itu menjawab, “Ya.” Rasulullah Saw bertanya lagi, “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah?” Ia menjawab, “Ya.”
Syekh Syu’aib Arnauth mengomentari redaksi ini : “ هذا هو اللفظ الصحيح للحديث إن شاء الله Inilah redaksi hadis yang sahih, insya Allah.” (hamisy Musnad 13/286).
Hadits ini didukung beberapa syawahid di dalam Sunan ad-Darimi dari Syarid RA, al-Bazzar dalam Musnadnya dan ath-Thabarani dalam Mu’jam al-Kabir dari Abdullah bin Abbas RA.
Jadi, redaksinya bukan ‘dimana Allah’, melainkan ‘apakah engkau bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah?”
Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Syarid bin Suwaid ra dengan redaksi yang berbeda lagi. Nabi Saw tidak bertanya kepada budak yang ingin diuji keimanannya itu dengan kalimat, “Dimana Allah?” melainkan dengan kalimat: مَنْ رَبُّكِ ؟ “Siapa Tuhanmu?”
Karena perbedaan redaksi yang cukup tajam inilah maka hadits ini dikategorikan sebagai hadits mudhtharib. Dan, hadits mudhtharib termasuk kategori hadits yang lemah. Tentang apakah mungkin di dalam kitab Shahih (baik Shahih Bukhari maupun Shahih Muslim) ada hadits yang dinilai lemah, ini membutuhkan kajian yang lain secara terpisah.
Kalau kita harus memilih dari beberapa redaksi hadits yang berbeda-beda itu, maka kita akan memilih redaksi yang sejalan dengan banyak hadits (bahkan sebagian ulama mengatakan sampai ke derjat mutawatir) yang menegaskan bahwa bukti keimanan itu adalah dengan kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah (bukan dengan jawaban pertanyaan dimana Allah).
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan : إِنَّ إِدْرَاكَ الْعُقُولِ لِأَسْرَارِ الرُّبُوبِيَّةِ قَاصِرٌ فَلَا يَتَوَجَّهُ عَلَى حُكْمِهِ لِمَ وَلَا كَيْفَ كَمَا لَا يَتَوَجَّهُ عَلَيْهِ فِي وجوده أَيْن وَحَيْثُ
Sesungguhnya akal manusia sangat lemah untuk memahami rahasia ketuhanan. Maka tidaklah pantas diarahkan kepada berbagai ketetapan-Nya pertanyaan ‘kenapa’ atau ‘bagaimana’. Sebagaimana halnya tidak pantas diarahkan pada eksistensi-Nya pertanyaan ‘dimana’ (Fathul Bari 1/221).
وفقنا الله لما يحبه ويرضاه وأن ننزهه ونعظمه ونقدره حق قدره
*Magister hadits Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang