REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkembangan zaman yang serba canggih, membuat setiap orang dapat melakukan berbagai hal dengan mudah, begitu pula perempuan. Jika dahulu perempuan sangat dibatasi ruang geraknya, maka tentu akan jauh berbeda dengan kehidupan perempuan masa kini.
Pada zaman Yunani Kuno atau sekitar 427-347 Sebelum Masehi (SM), martabat perempuan dipandang sangat rendah, bahkan hanya dianggap sebagai alat penerus generasi, pembantu rumah tangga, dan pelepas hawa nafsu. Bahkan di Eropa, tepatnya pada 586 Masehi, agamawan Prancis masih mendiskusikan apakah perempuan dapat menyembah Tuhan atau tidak.
Dituliskan dalam buku berjudul Perempuan karya Muhammad Quraish Shihab, bahwa diskusi mengenai perempuan itu berakhir dengan kesimpulan bahwa perempuan memiliki jiwa, tetapi tidak kekal, dan perempuan hanya bertugas melayani lelaki. Dalam konteks ini, menurut Quraish Shihab, agama sering dijadikan dalih untuk membenarkan pandangan negatif tersebut.
Nyatanya, menurut dia, interpretasi tersebut lahir dari pandangan masa lampau yang keliru, namun telah melekat di alam bawah sadar sehingga menjadi budaya dalam masyarakat. Salah satu contoh pemikiran yang keliru adakah pandangan bahwa perempuan tercipta dari tulang rusuk lelaki.
“Padahal pemahaman itu hanya berlaku pada lelaki pertama (Adam) dan perempuan pertama (Hawa). Sedangkan lelaki dan perempuan selanjutnya lahir akibat pertemuan sperma dan ovum,” tulis Quraish Shihab.
Al-Quran dalam surat Al-Hujarat ayat 13, telah menjelaskan secara tegas bahwa kemuliaan ditentukan oleh tingkat ketakwaan kepada Allah SWT, bukan perbedaan jenis kelamin atau suku bangsa.
Pandangan negatif terhadap perempuan, serta perbandingan kualitas antara lelaki dan perempuan juga semakin diperparah dengan persepsi masyarakat yang lebih memprioritaskan lelaki. Nyatanya, jika merujuk pada kitab suci, tidak ada dasar yang menyebutkan tingkatan prioritas antara satu jenis dengan jenis yang lain.
Kini, perempuan telah menemukan keberanian untuk menunjukkan diri. Kemandirian yang sejati bagi perempuan, menurut Islam dapat diwujudkan dengan kebanggaan mereka dengan identitasnya sebagai perempuan, bukan justru menjadikan mereka seperti lelaki.
Jika merujuk pada Al-Quran, dijelaskan bahwa citra perempuan yang terpuji adalah perempuan yang memiliki kemandirian, memiliki hal berpolitik, dan kritis dalam apa yang dihadapinya. Penjelasan ini tertuang dalam surat An-Naml ayat 29-44 yang menceritakan seorang perempuan bernama Balqis yang menduduki tahta di negeri Saba’.
Alquran surat Al-Baqarah ayat 228 menyebutkan, “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma’ruf.”
Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar Ibnu Al-Khattab RA menceritakan, “Kami suku Quraisy (penduduk Mekkah) tadinya mengalahkan istri-istri kami, tetapi ketika kami bertemu dengan Al-Anshar (kaum muslim penduduk Madinah), kami menemukan kaum perempuan (istri-istri) kami meniru adab (kelakuan) perempuan Al-Anshar.”
Abu Bakar melanjutkan, “Aku bersuara keras kepada istriku, lalu dia membantahku. Maka, aku tidak menerima hal tersebut. Dia lalu berkata kepadaku, ‘Mengapa engkau keberatan, padahal, demi Allah, istri-istri Nabi pun berdiskusi dan biasa menolak pendapat beliau, bahkan ada di antara mereka yang tidak mengajaknya berbicara sampai malam.’
“Hal ini mengagetkanku, dan aku berpikir bahwa rugi dan celakalah istri yang melakukan hal itu,” kata Abu Bakar. Dia melanjutkan, “Aku kemudian menuju kepada Hafshah (anak Sayyidina Unar dan istri Nabi Muhammad SAW) dan bertanya kepadanya, ‘Apakah salah seorang diantara kalian ada yang kesal dan marah kepada Nabi SAW (sebagai suami) sampai sehari semalam?’ Lalu Hafshah menjawab ‘Ya.’”
“Untuk mewujudkan harkat dan kemandirian perempuan serta memelihara hak-hak, kodrat dan identitasnya, perempuan tidak hanya harus merasa diri mereka setara dengan lelaki, tetapi lebih dari itu, perempuan harus membuktikan hal itu melalui kemampuannya dalam dunia nyata,” tutup Quraish Shihab dalam bab mengenai harkat dan kemandirian perempuan.