REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Inti dari ajaran agama Islam adalah terbentuknya akhlak atau budi perkerti yang luhur. Posisi akhlak dalam Islam pun sangatlah penting, Nabi Muhammad pun dikenal sebagai pribadi yang paling berakhlak luhur.
Dalam buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain Haikal dijelaskan, sebelum diangkat menjadi Nabi, Rasulullah SAW dikenal banyak orang sebagai pribadi yang berbudi pekerti. Bahkan penduduk Makkah kala itu tak ada yang pernah menyangsikan kemuliaan akhlak Muhammad.
Maka ketika menjadi Nabi, dengan wahyu yang diterimanya menyerukan kepada umat, beliau menyampaikannya dengan cara-cara yang santun, tegas, dan taktis. Reformasi sosial pun terjadi, semula dari masyarakat Jahiliyah menjadi masyarakat yang berperadaban.
Dijelaskan, dalam mereformasi tatanan sosial maka diperlukan kerja sama antara laki-laki dengan perempuan. Sementara masyarakat Jahiliyah saat itu sangat tabu menjadikan perempuan sebagai manusia yang utuh. Dengan hadirnya wahyu Allah, Nabi Muhammad pun mencoba mengaktualisasikan dakwahnya dengan pendekatan yang dinamis.
Diperkenalkan bahwa perempuan sejatinya juga manusia, makhluk Allah yang ditugaskan pula untuk menyembah-Nya. Maka Nabi mempraktikkan bagaimana akhlaknya kepada para perempuan, lalu menyampaikan betapa mulianya perempuan terutama ibu dalam kehidupan manusia.
Tak hanya itu, Nabi juga mulai memasuki ruang budaya masyarakat Arab. Yang awalnya tidak mengenal pembatasan dalam pernikahan dan cenderung semena-mena dengan perempuan, justru dibatasi pernikahan budaya tersebut. Dijelaskan dalam buku ini bahwa hak dan kewajiban antara laki-laki dengan perempuan sama, namun dalam porsi yang berbeda.
Dengan reformasi sosial yang dijalankan, Nabi Muhammad menjadi contoh dan teladan. Bagaimana Nabi tidak menikahi perempuan lainnya di saat Sayyidah Khadijah masih hidup. Sepeninggal Sayyidah Khadijah, Nabi diperintahkan menikahi beberapa istri oleh Allah.
Alasannya tentu bukan karena nafsu birahi sebagaimana yang ditudingkan kaum orientalis. Nabi berpoligami atas pertintah Allah itu untuk memberikan contoh pada masa itu yang dianggap krusial untuk dilakukan. Yakni dengan alasan dakwah, politik, hingga teladan bagaimana laki-laki harusnya memperlakukan perempuan.
Peneliti sekaligus Aktivis Gender Islam Ustazah Nur Rofiah menyebut, bahwa poligaminya Rasulullah sejatinya merupakan upaya taktis dalam beberapa tahapan misi. Pertama, dalam upaya pembatasan untuk menikahi perempuan.
“Yang tadinya (pada masa jahiliyah) sebanyak-banyaknya menikahi perempuan semaunya, begitu Islam datang dibatasi menjadi empat. Tapi dalam redaksi ayat Alqurannya dijelaskan pula, jika tidak mampu berlaku adil, maka diperintahkan untuk menikahi satu saja,” kata Ustazah Nur Rofiah dalam webinar, baru-baru ini.
Ustaz Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya berjudul 60 Hadis Hak-Hak Perempuan dalam Islam menyebutkan, hubungan timbal balik atau kesalingan antara laki-laki dengan perempuan. Nabi bersabda: “Ishtawu binnisa-i khairan fa innama hunna indakum awanin,”. Yang artinya: “Saling berwasiatlah di antara kalian untuk selalu berbuat baik terhadap perempuan, karena mereka berada pada posisi lemah di antara kalian,”.
Dengan relasi antara perempuan dengan laki-laki, reformasi sosial sejatinya terujud ke arah yang positif. Misalnya, dalam skala paling kecil seperti rumah tangga, hubungan kesalingan antara perempuan dengan laki-laki yang baik akan menimbulkan aura positif dalam biduk rumah tangga.
Yang mana, aura positif tersebut akan melahirkan akhlakul karimah kepada insan-insan yang hidup di dalamnya. Dalam skala sosial yang lebih besar, hubungan tersebut pun dapat memajukan nilai-nilai peradaban. Seperti dukungan satu sama lain dalam aspek ekonomi, politik, hingga budaya.