Sabtu 12 Sep 2020 07:40 WIB

Psikologi dalam Pandangan Sufi

Psikologi sufi merupakan aspek yang lebih khusus dari psikologi Islam.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Muhammad Hafil
Psikologi dalam Pandangan Sufi. Foto: Tarian sufi (ilustrasi).
Foto: trekearth.com
Psikologi dalam Pandangan Sufi. Foto: Tarian sufi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ilmu psikologi modern berkembang di Eropa setidaknya sejak abad ke-20. Disiplin ini berupaya menjelaskan tentang perilaku, fungsi, dan proses mental manusia melalui prosedur ilmiah. Ilmuwan Jerman, Wilhelm Wundt, menjadi orang pertama yang menyebut dirinya psikolog.

Bagaimanapun, perkembangan ilmu kejiwaan dapat ditelisik jauh sebelumnya, yakni era keemasan Islam. Banyak sarjana Muslim yang mengkaji mental manusia walaupun tak memakai istilah psikologi. Sebut saja, Ibnu Sina, ar-Razi, atau Ibnu Khaldun. Hingga kini, legasi mereka tetap bertahan dan kerap dinamakan psikologi Islam.

Baca Juga

Disiplin itu dianggap sebagai sains yang mandiri, meskipun tetap ber sentuhan, dengan psikologi Barat. Keduanya memiliki persamaan yakni menjadikan (mental) manusia sebagai objek material. Akan tetapi, psikologi Islam cenderung melihatnya dari perspektif wahyu Alquran dan Hadis tak hanya mengandalkan aspek logis-empiris.

Satu contoh sederhana, umpama nya, dalam memahami perilaku individu yang berjalan sembari menunduk. Menurut psikologi Barat, perilaku itu mungkin mencerminkan rendahnya kepercayaan diri orang tersebut. Adapun psikologi Islam menafsirkannya lebih luas lagi.

Bisa jadi ia menunduk lantaran ingin tawadhu, menuruti perintah Allah SWT. Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18).

Psikologi sufi merupakan aspek yang lebih khusus dari psikologi Islam. Salah satu buku yang mengulas topik ini ialah Heart, Self, and Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance, and Harmony karya psikolog Harvard University, Robert Frager PhD. Risalah itu telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, Psikologi Sufi Untuk Transformasi Hati, Jiwa, dan Ruh (2014).

Penulisan buku itu tak lepas dari pengalaman pribadi penulisnya. Pada 1980, Frager pertama kali berjumpa dengan Syekh Muzaffer Ozak, sang pemimpin (mursyid) Tarekat Halveti-Jerrahi asal Istanbul, Turki. Frager kemudian mengundangnya untuk menjadi pembicara di kampus.

Dalam kesempatan yang dinantinanti itu, Frager dan banyak peserta seminar sangat terkesan oleh ceramah sang salik. Mereka begitu terinspirasi untaian cerita penuh hikmah yang disampaikan Syekh Muzaffer. Kisah-kisah itu memang berkenaan orang-orang saleh dalam ajaran Islam. Akan tetapi, pesan moralnya amat terasa ditujukan bagi kemanusiaan universal.

Tak menunggu waktu lama, pendiri Transpersonal Psychology Institute itu pun menjadi pengikut Halveti-Jerrahi. Profesor itu akhirnya kelak dikenal dengan nama aliasnya, Syekh Ragip al-Jerrahi. Dalam bukunya itu, Frager mema parkan beberapa perbedaan antara psikologi Barat dan psikologi sufi (Islam).

Dalam perspektif Barat, alam semesta diasumsikan terjadi tanpa makna dan tujuan. Seluruhnya dipandang dari sifat materi semata-mata. Sementara itu, psikologi sufi memandang alam semesta diciptakan berdasarkan kehendak Allah dan mencerminkan kehadiran- Nya. Milik Allah-lah Timur dan Barat; ke manapun engkau menghadap, di situlah wajah Allah berada (QS al-Baqarah:115).

Selanjutnya, psikologi Barat beranggapan manusia tak lebih dari tubuh. Pikiran dinilai berkembang dari sistem saraf tubuhyang tampak secara indrawi. Psikologi sufi justru memandang hati spiritual sebagai elemen penting. Manusia lebih dari sekadar tubuh plus pikiran.

Setiap insan adalah perwujudan ruh Ilahi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengetahui dari mana kita berasal dan ke mana kita menuju. Jiwa kita telah ada sebelum kita dilahirkan dan tetap ada setelah kita meninggal. Tujuan kita adalah menyingkap percikan ilahiah dalam diri kita sendiri, demikian tulis Frager.

Puncak kesadaran manusia, menurut psikologi Barat, ialah kesadaran rasional. Frager menunjukkan, psikologi sufi atau Islam lebih luas cakupannya daripada itu. Sufi meman dang kesadaran rasional seringkali merupakan wujud kondisi tidur dalam sadar.

Dalam arti, manusia rasional boleh jadi lalai atau tidak peka terhadap diri sendiri maupun dunia di sekitarnya. Kesadaran manusia hanya akan berada dalam fase tertinggi setelah melalui berbagai tahapan. Ini dimulai dari kesadar an awal, yakni menyadari bahwa pencarian spiritual lebih utama dan bermakna daripada tujuan dan ambisi duniawi.

Tak hanya perbedaan sudut pandang, Frager juga menjelaskan tentang bagaimana psikologi sufi dan psikologi Barat berlainan dalam soal transmisi keilmuan. Psikologi Barat meyakini, hampir seluruh pengetahu an hanya dapat disampaikan melalui kalimat-kalimat rasional yang ditata secara logis.

Sementara itu, sufi memahami, kalimat tertulis bersifat terbatas. Padahal, kondisi perkembangan spiritual tertinggi ialah melampaui deskripsi rasional. Maka dari itu, banyak salik memilih puisi sebagai medium untuk mengungkapkan pengalaman kemanusiaan yang paling dalam. Kisah-kisah perumpamaan juga dijadikan jalan untuk menyampaikan substansi.

Heart, Self, and Soul berupaya merangkum telaah sufistik atas mental manusia. Buku ini terdiri atas delapan bab. Diawali dari penjabaran ihwal konsep-konsep dasar psikologi sufi, serta perbedaan kontrasnya dengan paradigma keilmuan Barat (sekuler). Bab selanjutnya menelaah hati yang dipandang sebagai pusat spiritual manusia.

Mengutip at-Tirmidzi, seorang ahli hadis dari abad kesembilan, Frager menguraikan empat stasiun hati. Mulai dari yang terluar hingga yang paling pusat, yakni dada (shadr), hati (qalb), hati-lebih-dalam (fu'ad), dan lubuk hati terdalam (lubb). Tiap stasiun hati berkaitan dengan level spiritual, pengetahuan, pemahaman dan nafs yang berbedabeda.

Sebagai contoh, shadr, qalb, fu'ad, dan lubb berturut-turut menerima pancaran sinar cahaya Islam, iman, makrifat, dan tauhid. Tiap penerimanya dinamakan Muslim, Mukmin, 'arif (ahli makrifat), dan muwahhid (ahli tauhid). Mengikuti deskripsi dari Sa'id Hawwa (1935- 1989) tentang penyucian jiwa (tazkiyatun nafs), maka setiap stasiun hati itu diisi berturut-turut nafs ammarah, nafs mulhamah, nafs lawwamah, dan akhirnya nafs muthma'innah.

Tak berhenti pada menyelidiki hati spiritual, Frager lebih lanjut menerangkan tentang kemungkinan perubahan atau transformasi ego atau jiwa manusiayang diistilah kan kaum sufi sebagai nafs. Dalam bahasa Arab, kata nafs cenderung ber arti 'diri.'

Dari kata itu pula mun cul kata napas, yang merupakan ciri-ciri uta ma makhluk bernyawa. Atau, nafsu, do rongan un tuk melaku kan per-buat an. Dalam pengertian psi kologi sufi, nafs meru pa kan proses yang diha sil kan interaksi ruh dengan ja sad. Ini bu kanlah sema cam struktur psikis yang statis, melain kan dinamis.

Maka dari itu, seorang in dividu yang pekaterlebih lagi kaum salikakan selalu berupaya untuk menggerak kan nafs-nya agar beranjak dari kondisi ammarah menuju muthma'innah. Frager menyi tir pandangan bebe rapa penu lis-sufi yang memandang adanya tujuh tingkat perkem bangan nafs, berdasarkan taf siran atas Alquran dan Sunnah.

Ada berbagai metode untuk melatih nafs supaya konsisten dalam jalan tauhid. Frager mengatakan, Tarekat Halveti-Jerrahi misalnya, yang menjadikan zikir sebagai sarana melatih pengikutnya untuk menyembuhkan penyakit hati. Dalam ritual itu, para darwis dianjurkan untuk berzikir dengan menyebut nama-nama Allah (Asmaul husna).

Tiap nama kemudian dipersepsikan dengan warna tertentu, seperti al- Qayyum (Mahakekal) dengan warna biru tua atau al-Qahhar (Mahakuasa) dengan bening atau tak berwarna. Hal itu bertujuan agar seseorang benar-benar meresapi zikirnya, baik dalam lisan, pikiran, maupu relung hati.

Satu hal yang menarik dari buku ini ialah gaya tutur yang dipakai sang penulis. Ia tak hanya menggunakan bahasa yang bernas dan mudah dipahami bahkan oleh orang awam sekalipun. Untuk mendeskripsikan kon sep-konsep psikologi sufi, misalnya, sering kali ia menyuguhkan cerita-cerita sarat hikmah yang bersum ber baik dari zaman klasik maupun kontemporer. Secara keseluruhan, Frager begitu piawai dalam memperkenalkan aspek-aspek dari tasawuf dan kaitannya dengan disiplin ilmu kejiwaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement