REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tepat pada hari ini satu tahun yang lalu presiden ketiga RI Prof Dr Ing H Bacharuddin Jusuf Habibie FREng berpulang ke rahmatullah. Sosok yang memimpin Tanah Air pada masa awal Reformasi itu dikenal sebagai pribadi yang cerdas dan inspiratif.
Lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936, BJ Habibie tumbuh menjadi seorang intelektual yang cerdas atau bahkan jenius. Pernah menempuh studi pendidikan tinggi di RWTH Aachen, Jerman, dalam bidang spesialisasi konstruksi pesawat terbang. Pada 1965, suami Hasri Ainun Habibie itu berhasil meraih gelar doktor insinyur dengan predikat summa cum laude.
Sejak 1973, ia kembali ke Tanah Air atas permintaan presiden RI kala itu Soeharto. Berbagai jabatan pernah didudukinya, termasuk menteri negara riset dan teknologi.
Setelah melalui kerja keras yang panjang, tonggak bersejarah pun tercipta pada 10 Agustus 1995. Kala itu, pesawat N-250 buah karya anak bangsa meluncur untuk pertama kalinya ke angkasa.
Sisi religius
Habibie menampilkan dirinya tidak hanya berdaya pikir brilian, tetapi juga religius. Sebagai Muslim, ia juga senang membaca Alquran dan berbagai ibadah lainnya, baik wajib maupun sunah.
Seperti dikutip dari buku The Power of Ideas yang disusun A Makmur Makka, ayahanda Ilham Akbar dan Thareq Kemal itu menuturkan dampak yang dirasakannya dari beribadah rutin, "Tiap hari saya shalat. Di situ saya menemukan ketenangan, membersihkan pikiran."
Bagi Habibie, gerakan-gerakan shalat juga memiliki manfaat yang besar untuk tubuh. "Gerakan shalat itu merupakan latihan. Kepalanya ke bawah. Pada waktu itu, darah bersirkulasi ke kepala. Otak mendapat aliran darah. Sewaktu sujud itu, biasanya saya lama di bawah, sekitar 1 menit. Setelah shalat, saya merasa fresh," kata pemegang puluhan paten produk teknologi itu.
Setelah shalat pun, Habibie larut dalam doa. Ia selalu mengalokasikan waktu untuk bermunajat kepada Allah SWT. Dalam doanya, ada banyak harapan termasuk kepada kedua orang tuanya.
"Doanya supaya Allah memelihara orang tua, seperti mereka memelihara saya. Tanpa orang tua, tidak ada yang namanya Habibie," kata dia, sebagaimana dikutip Makka dalam buku tersebut.
Doa-doa yang dipanjatkannya tentunya tidak hanya untuk orang tua, melainkan juga istri, anak-anak, keluarga serta bangsanya. Keteguhan Habibie dalam berdoa dapat juga terlihat dari kebiasaannya sesudah sang istri wafat pada 2010.
Habibie selalu rutin berziarah ke makam Ainun sebelum shalat Jumat. Meski cuaca panas atau hujan, kunjungan ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata Jakarta--tempat peristirahatan terakhir sang almarhumah--tetap dilakukannya.
Bagaimana mempelajari agama
Habibie tidak hanya menjalani Islam dari aspek ritual belaka. Ia juga masuk pada tahap pemahaman. Hal ini tampak dari bagaimana caranya mempelajari agama.
Ia mengenang, sejak berusia kanak-kanak dirinya sudah menerima pengajaran agama. Apalagi, kedua orang tuanya pun termasuk Muslimin yang taat sehingga dari mereka-lah ia mereguk mata air keteladanan. Saat masih kecil, putra pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan Tuti Marini Puspowardojo itu bahkan pintar mengaji Alquran.
"Dulu waktu kecil di Parepare, saya beberapa kali juara lomba membaca Alquran dari kawan-kawan sebaya saya. Cuma waktu itu, belum ada MTQ (Musabaqah Tilawatil Quran)," kenang Habibie.
Semakin dewasa, ia semakin matang dalam mendalami Islam. Meskipun tidak bertujuan untuk menjadi pendakwah, Habibie mengatakan, dirinya mempelajari agama agar dapat mengerti tentang Islam dan tugasnya sebagai seorang Muslim. Dalam menyelami berbagai bacaan tentang Islam, ia tak sampai memfokuskan kajian pada mazhab-mazhab tertentu.
"Tetapi jika saya ditanya apakah saya baca mengenai skenario agama, atau pengelompokan agama di Indonesia, saya jawab, tidak. Apakah dalam agama ada grup A, B dan C, saya tidak tahu. Saya bukan konsumen untuk itu, dan saya tidak masuk grup A atau B. Sebab, spiritual adalah perjalanan ke dalam diri, perjalanan individual," tuturnya.