REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepeninggalan ayahnya, Habib Umar semakin teguh memilih dakwah sebagai jalan hidupnya. Dalam usia belia, dia merasa bertanggung jawab untuk meneruskan semangat berdakwah yang telah dicontohkan sang ayah.
Sejak saat itu, dia semakin giat membentuk majelis-majelis, khususnya bagi anak-anak muda. Di masjid-masjid, berbagai kelas semakin banyak dibuka untuk orang-orang berkumpul, menimba ilmu, dan menghafalkan Alquran. Rezim komunisme tidak dapat menyurutkan semangat dakwah umat Islam Yaman, khususnya masyarakat Hadrami.
Seiring waktu, pihak keluarga besar mengirim Habib Umar ke Kota al-Bayda' untuk menuntut ilmu. Saat itu, kota tersebut masuk ke dalam wilayah Yaman yang antikomunis. Dengan begitu, Habib Umar diharapkan dapat belajar dengan aman karena jauh dari golongan yang ingin mencelakakan para dai muda.
Di al-Bayda', Habib Umar melanjutkan sekolah di Ribat setempat. Beberapa guru yang ikut mengembangkan bakat keilmuannya di sana adalah al-Habib Muhammad bin Abdullah al-Haddar dan Habib Zain bin Smith, yang juga pakar ilmu fikih mazhab Syafii.
Berkat perlindungan Allah dan sebagai hasil kerja kerasnya, Habib Umar kemudian didaulat sebagai salah seorang guru di Ribat tersebut. Tidak hanya di lingkungan sekolah, dakwah Habib Umar juga menjangkau masyarakat Kota al- Bayda' dan Yaman Utara pada umumnya. Dia membentuk majelis-majelis, mulai dari kota tempatnya bekerja daerah-daerah yang cukup jauh di utara. Di sinilah dia berkenalan dengan Habib Ibrahim bin Aqil bin Yahya, seorang mufti Kota Ta'iz, yang kemudian menjadi mertuanya.
Bersama istrinya, Habib Umar selanjutnya menunaikan ibadah haji perta manya. Mereka berziarah ke makam Ra sulullah SAW di Madinah. Dalam perjalanan ke Tanah Suci, Habib Umar juga me ngunjungi sejumlah ulama termasyhur. Misalnya, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Habib Ahmad Mashur al-Haddad, dan Habib 'Attas al-Habsyi. Dari mereka, Habib Umar mendalami beberapa kitab yang semakin memperluas cakrawala keilmuannya untuk berdakwah, khususnya sekembalinya di Yaman.
Sepulang dari beribadah haji, nama Habib Umar semakin dikenal luas di Jazirah Arab sebagai pendakwah yang cakap. Selanjutnya, Habib Umar di undang para ulama Oman untuk tinggal di negeri itu selama beberapa tahun. Mereka ingin Habib Umar ikut berkiprah mengenai kemajuan Islam dalam paruh kedua abad ke-20 di Oman. Sejak dari Oman pula Habib Umar mulai merumuskan pendirian sebuah lembaga pendidikan yang mampu menyemai bibit-bibit unggul dai.
Hasil dari upaya Habib Umar itu ialah Ribat al-Mustafa yang berdiri di Shihr, Yaman Selatan. Kota itu terletak di pesisir Yaman yang menghadap Samudra Hindia. Oleh karena itu, letaknya strategis sebagai titik persinggahan para saudagar atau pelancong, baik yang menuju maupun berlayar dari Semenanjung Arab ke negeri-negeri di timur, seperti India atau Indonesia. Kelak, pendirian lembaga ini menjadi bekal yang amat berharga bagi pembangunan Darul Musthafa di kota kelahiran sang habib.
Perjalanan Habib Umar mengantarkannya kembali ke Tarim. Untuk mengukuhkan dakwah Islam di kota kelahirannya itu, pada akhir 1980-an Habib Umar mulai membangun Darul Musthafa. Pada 1993, tepat ketika sang habib berusia 30 tahun, lembaga tersebut akhirnya berdiri secara resmi.
Muridnya berasal bukan hanya dari Yaman atau Jazirah Arab, melainkan juga negeri-negeri Muslim di Asia, Afrika, dan belakangan di Amerika serta Eropa. Banyak pula orang Indonesia yang menimba ilmu di sana. Beberapa ciri khas Darul Musthafa adalah penekanannya pada sanad keilmuan dan identifikasi pada Ahlussunah waljamaah.
Soal sanad, Habib Umar kerap disandang kan dengan gelar al-Musnid karena hafal periwayatan hadis-hadis hingga kitab sahih-sahih atau Nabi SAW. Kelahiran lembaga Darul Musthafa lantas menginspi rasi pembangunan lembaga-lembaga pendidikan serupa di Yaman dan pelbagai negara.