Rabu 09 Sep 2020 07:21 WIB

Pemicu Kerusuhan Anti-China di Kudus 1918 Menurut Ulama 

Terjadi kerusuhan anti-China di kalangan Muslim Jawa Kudus pada 1918.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Terjadi kerusuhan anti-China di kalangan Muslim Jawa Kudus pada 1918. Ilustrasi Kota Kudus.
Foto: IST
Terjadi kerusuhan anti-China di kalangan Muslim Jawa Kudus pada 1918. Ilustrasi Kota Kudus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hura-hara yang terjadi pada akhir Oktober 1918 M di Kudus merupakan huru Hara anti China terseburuk yang pernah terjadi di Indonesia pada awal abad ke-20. 

Dalam huru-hara ini 50 rumah dihancurkan, delapan orang China terbunuh dan sebagian mati terbakar, dan kira-kira separuh orang China di Kudus, sekitar 2.000 orang, melarikan diri ke Semarang.

Baca Juga

Dalam buku “99 Kiai Kharismatik Indonesia: Riwayat, Perjuangan, Doa dan Hizib”, KH A Azis Masyhuri menjelaskan, sulit dipastikan bahwa huru hara itu murni konflik antaretnis, mengingat hubungan etnis China dan Jawa sudah sedemikian eratnya sejak zaman Sunan Kudus.

Buktinya, salah seorang tokoh China yang sangat dihormati di Kudus, yaitu Kiai Telingsing yang memiliki nama asli Teh Ling Sing adalah termasuk salah seorang guru sekaligus sahabat Sunan Kudus.

Menurut sejarah Islam, kata Kiai Azis Masyhuri, huru-hara itu terjadi di tengah-tengah umat Islam mengadakan gotong royong untuk membangun Masjid Menara Kudus yang dikerjakan siang dan malam.

Pada waktu itu, orang-orang China hendak mengadakan pawai yang rutenya akan melewati jalan depan Masjid Menara Kudus. Karena dianggap akan mengganggu proses gotong royong, ulama dan para pemimpin Islam di Kudus kemudian mengirim surat pada salah seorang Letnan China.

Dalam surat, para ulama meminta agar mereka tidak melewati jalan depan Masjid Menara Kudus, mengingat banyak umat Islam yang melakukan pengambilan batu dan pasir pada malam hari. Namun, permintaan itu ternyata tidak diperhatikan sebagaimana mestinya.

Pawai orang-orang China itu pun tetap berlangsung melewati depan Masjid Menara Kudus. Kemudian, yang membuat umat Islam tersinggung adalah ejekan dua orang China yang memakai pakaian haji dengan merangkul seorang wanita nakal yang berpakaian tidak senonoh.

Rombongan pawai China datang dari depan Masjid Menara menuju selatan bertemu dengan santri-santri yang sedang bekerja bakti mengambil batu dan pasir dengan gerobak dari selatan ke utara. Kedua kelompok itu pun tidak ada yang mau mundur.

Huru-hara pecah tatkala seorang santri yang menarik gerobak, Mabruri dipukul pihak China, sehingga terjadilah pertikaian antardua golongan tersebut. Meskipun pertikaian dapat dihentikan dan selanjutnya diadakan perdamaian, tapi pihak orang-orang China belum mau menunjukkan sikap damai.

Bahkan, mereka masih sering melontarkan ejekan-ejekan terhadap orang-orang Islam yang tengah mengambil pasir dan batu sepanjang jalan yang dilalui dari Kali Gelis sampai ke Masjid Menara Kudus.

Karena itulah, orang-orang Islam terpaksa mengadakan perlawanan atas penghinaan orang-orang China tersebut. Para ulama memandang cukup beralasan untuk menyetujui adanya tindakan memberi pelajaran atas penghinaan terhadap umat Islam. Namun, para ulama sama sekali tidak memerintah untuk merampas harta orang-orang China, apalagi melakukan pembunuhan.

Namun, entah bagaimana, huru-hara itu berkembang sedemikian dahsyatnya. Menurut Kiai Aziz Masyhuri, sepertinya ada pihak ketiga yang bertindak dalam air keruh. Korban pun berjatuhan dari pihak China maupun Jawa. Banyak rumah penduduk China dan Jawa yang terbakar.

Dengan dalih memberi fatwa yang membolehkan tindakan perusakan dan perampasan serta memimpin tindakan tersebut, maka pemerintah kolonial menangkap para ulama, termasuk Kiai Raden Asnawi, 68 orang diinterogasi, dan akhirnya 51 orang mendapat hukuman penjara selama sembilan tahun sampai 15 tahun.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement