REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Boleh saja penganut Yahudi terbelah soal kapankah kejayaan Kuil Sulaiman akan kembali. Ada dua kutub yang berbeda menyikapi persoalan ini. Pertama, bahwa kehadiran Messiah untuk mengangkat derajat dan kedudukan bangsa Yahudi menjadi pemimpin dunia, harus diawali dengan berdirinya Kuil Sulaiman.
Dengan demikian, begitu Messiah yang dinanti datang, sudah berada di atas singgasana Kuil tersebut. Mereka adalah kelompok Yahudi yang pro-Zionisme. Sedangkan, kelompok kedua yang berseberangan dengan Zionisme berpendapat, kejayaan Kuil ini akan dihadirkan sendiri oleh Messiah berikut pembangunannya hingga menjadi pusat pemerintahan dunia baru.
Tetapi, meski ada dua kutub tersebut, tetap saja mereka dipertemukan oleh satu doktrin agama yang dikultuskan tersebut. Yakni bagaimana agar kejayaan agama dengan berbagai mitosnya, seperti Kuil Solomon, tanah yang dijanjikan dan lainnya, bisa terealisasikan.
Agak sedikit canggung membicarakan isu pencaplokan tanah Palestina dari aspek teologi saja. Sebab, ini bisa sangat simplifikatif alias terlalu menyederhanakan masalah, hanya soal urusan agamaan sih. Bagaimanapun masalah pendudukan Israel atas Palestina adalah isu kemanusiaan yang melintasi batas-batas agama, bangsa, dan suku.
Namun, diakui atau tidak kita tidak bisa terhindar dari aspek yang satu ini, yakni doktrin agama. Laju Israel dan Zionisme bisa sangat signifikan dalam menjajah Palestina karena satu alasan, yakni doktrin agama!
Jagat Purbawati dalam catatannya atas terjemahan karya Prof Paul W Van Der Veur yang berjudul Freemasonry di Indonesia), menyebutkan melalui kekuatan tersembunyi yang berdiri pada 37 M yang lantas diberi nama Free Masonry oleh Forum London pada 1717, sembilan pendeta Yahudi mendirikan gerakan ini untuk menghancurkan agama Kristen sebagai balas dendam dari berita Almasih tentang kehancuran Haikal Sulaiman. Ini dengan harapan melangsungkan kehidupan Yahudi dan memperbarui bentuk bangunan yang sudah rusak.
Inilah yang menurut hemat penulis, menjadi inspirasi penulisan buku monumental karya almarhum Prof Muhammad Sayyid Thanthawi, mantan grand syekh al-Azhar Mesir, yang berjudul Banu Israil fi al-Quran wa as-Sunnah. Seakan Syekh Thanthawi hendak mengisyaratkan bahwa interaksi apa pun dengan Israil, lihatlah perspektif Alquran dan sunah serta jangan lupakan sejarah.
Dalam bukunya ini, memang Thanthawi sempat menuai kritikan. Hal itu biasa dalam dinamika keilmuan dan topik ini di luar kapasitas penulis untuk berkomentar. Melalui karyanya ini, Thantawi menjelaskan berbagai hal yang menyangkut Bani Israil, berdasarkan Alquran serta sunah, dan tentu fakta sejarah.
Di antara subbab yang ia uraikan ialah mengenai karakter-karakter negatif yang identik dengan Bani Israil. Ada banyak tetapi yang menjadi konsentrasi pada tulisan ini adalah soal watak mereka yang gemar ingkar janji. Memang, ini tidak bisa digeneralisasi, namun cukup menjadi patokan umum.
Ada banyak dalil Alquran yang menegaskan karakter mereka ini, antara lain surah al-Baqarah ayat 83-84. Pada ayat yang pertama, sebagian Bani Israil dikisahkan melanggar perjanjian berupa tidak menyembah selain Allah SWT, berbuat kebaikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin.
Janji berikutnya, yakni mengucapkan kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. “Dan kamu selalu berpaling,” tertulis dalam pengujung ayat 83. Sedangkan di ayat berikutnya, Bani Israil melanggar janji untuk tidak saling membunuh. Tetapi, janji itu diabaikan.
Thanthawi pun berkomentar, uraian Alquran tentang Bani Israil berkorelasi secara tegas dengan karakter masa lalu dan masa kini. Ini pertanda jelas bahwa sikap anti-Islam yang ditunjukan oleh sebagian kalangan Yahudi terhadap Islam merupakan warisan buruk dari nenek moyang mereka.
Hipotesa Thanthawi sangat berdasar tentunya. Berbagai upaya perjanjian perdamaian yang dilangsungkan antara Israel dan Palestina selalu kandas. Konferensi Madrid yang dihelat pada 1991 adalah upaya multilateral yang akhirnya gagal.
Ada pula Perjanjian Oslo I pada 1993. Kesepakatan Oslo menyetujui pemerintahan mandiri rakyat Palestina atas wilayah Gaza, Jericho, dan Tepi Barat melalui pembentukan Otoritas Palestina dengan Yasser Arafat sebagai pemimpinnya.
Pembentukan Otoritas Palestina secara langsung membatalkan Deklarasi Kemerdekaan Palestina pada 1988 di Aljazair yang tidak pernah diakui oleh PBB tersebut. Tidak terhenti di sini tentunya, berbagai inisiatif damai dengan Israel selalu menemui jalan buntu.
Isu Palestina memang tak bisa terlepas dari doktrin agama. Ironisnya, justru terkadang pendekatan yang sama (doktrin agama) kurang begitu menyentuh oleh para penentu kebijakan, tak terkecuali para pemimpin Arab.
Bangsa Yahudi di seluruh dunia disatukan oleh satu asa yang kental dengan nuansa teologi, seperti mitos Haikal Sulaiman, tanah yang dijanjikan, dan manusia pilihan (choosen people). Sementara, doktrin agama Islam sendiri tak pernah berhasil menyatukan miliaran Muslim guna merebut kembali Pelestina dari cengkeraman Zionis Israel.