REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bagaimana Islam memandang non Muslim, apakah mereka dipandang sebagai teman atau musuh?
Semua ulama sebenarnya telah sepakat bahwa pada dasarnya hubungan Muslim dan non-Muslim adalah pertemanan, damai dan hidup berdampingan.
Tapi tema hubungan Muslim dan non-Muslim ini selalu menjadi bahan pertanyaan. Sebab ini adalah pertanyaan yang paling mendasar, yaitu apa hakikat paling dasar hubungan Muslim dengan non-Muslim?
Ustadz Ahmad Sarwat Lc dalam buku Fikih Interaksi Muslim Dengan non Muslim terbitan Rumah Fikih Publishing menjelaskan hubungan dasar Muslim dan non-Muslim. Apakah hubungan dasarnya pertemanan, damai dan hidup berdampingan atau hubungan dasarnya permusuhan, perang dan saling bunuh?
"Sebenarnya pertanyaan ini mudah sekali dijawab, karena seluruh ulama sudah ber-ijma bahwa hubungan dasar Muslim dengan non-Muslim adalah hubungan pertemanan, damai, dan hidup berdampingan," kata Ustadz Sarwat dalam bukunya.
Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum dalam agama berdasarkan Alquran dan hadits. Hasil ijma tersebut hubungan dasar Muslim dengan non-Muslim adalah hubungan pertemanan, damai dan hidup berdampingan.
Sejak diangkat menjadi utusan Allah SWT secara resmi, Nabi Muhammad SAW tidak pernah berada di lingkunan yang steril dari orang kafir. Justru kehidupan Nabi baik selama di Makkah selama 13 tahun maupun setelah hijrah ke Madinah selama 10 tahun, selalu dikerumuni oleh kalangan non Muslim di sekeliling beliau.
Abu Thalib adalah paman Nabi, bahkan tahun kematiannya diresmikan menjadi tahun duka cita. Padahal Abu Thalib tidak pernah mengucapkan syahadat.
Kemudian, Abu Sufyan bin Al-Harb sebelum akhirnya masuk Islam, ternyata sepanjang 21 tahun dakwah kenabian selalu berada pada posisi sebagai orang kafir yang memerangi. Padahal putrinya sendiri, Ibunda Ramlah radhiyallahuanha menikah dengan Nabi. Ini berarti Nabi punya mertua yang agamanya non-Muslim.
Salah satu menantu Nabi yang bernama Abul Ash agak lama menjadi orang kafir. Sampai pernah berhadapan dengan Nabi di medan perang, Abul Ash ikut berperang di pihak Quraisy memerangi Nabi dan kaum Muslimin. Atas pertolongan Allah SWT, kaum Muslimin menang di Badar dan Abul Ash pun menjadi tawanan.
"Dalam sirah Nabawiyah, kalau kita bandingkan siapa saja yang jadi orang kafir pada saat awal kenabian dengan pada 23 tahun kemudian kala hembuskan nafas terakhir, maka kita bisa temukan fakta bahwa semua yang kafir itu pada akhirnya masuk Islam juga," kata Ustadz Sarwat.
Hamzah dan Umar bin Khattab pada awalnya kafir, tapi akhirnya masuk Islam juga. Amar bin Al Ash dan Khalid bin Walid itu kafir yang jadi musuh Islam, tapi akhirnya masuk Islam juga. Bahkan sekelas Abu Sufyan, walaupun sudah di akhir waktu tapi masuk Islam juga.
Ustadz Sarwat menjelaskan, kalau pun nanti ada kisah perang, yang jadi titik masalah bukan karena berbeda iman dan aqidah. Perang Badar, Uhud, Khandaq dan perang-perang yang lain itu bisa dibedah satu per satu penyebabnya. Dan tidak ada satu pun perang yang didasari perbedaan agama dan keyakinan.
"Buktinya saat Perang Badar, Uhud dan Khandaq berlangsung, di Madinah ada begitu banyak orang Yahudi yang bukan Muslim. Mereka terikat perjanjian untuk saling membela dengan sesama penduduk Madinah, meski beda agama," kata Ustadz Sarwat.
Dia menerangkan, ketika Rasulullah SAW mengusir Yahudi dari Madinah, sebenarnya dasarnya bukan karena perbedaan aqidah. Dasarnya khianat yang mereka lakukan. Ibarat menohok kawan seiring, menggunting dalam lipatan dan menyalip di tikungan.