REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Istilah bom bunuh diri yang diklaim sebagai bom syahid mulai dikenal sejak abad ke-20. Bergeliatnya negara-negara Islam baik dalam konflik internal atau dengan kelompok Zionis, seperti di Palestina, memunculkan perlawanan dengan bom syahid.
Banyak yang mempertanyakan, apakah bom bunuh diri yang dilakoni pejuang-pejuang Islam seperti di Palestina bisa mendapatkan ganjaran sebagai seorang syuhada? Bukankah Islam melarang mencelakai diri sendiri apalagi sampai bunuh diri?
Terkait masalah ini, ada dua pendapat ulama yang saat ini terus berseberangan. Ada kelompok yang melarang keras aksi bom bunuh diri meski untuk menyerang musuh. Kelompok lain, seperti Syekh Yusuf al-Qaradhawi, memperbolehkan dengan beberapa ketentuan.
Mereka yang membolehkan berdalil seperti kisah Ashabul Ukhdud. Di dalam syarah Riyadus Shalihin Jilid 1 halaman 165-166 disebutkan, seseorang boleh mengorbankan dirinya untuk kemaslahatan kaum Muslimin secara umum.
Ashabul ukhdud (pemuda yang mengorbankan dirinya) itu merelakan dirinya untuk dipanah oleh raja yang zhalim. Ia menahan panah dengan harapan rakyat yang menyaksikannya bisa beriman. Benar saja, setelah si raja membaca “bismi rabbil ghulam” (dengan nama Tuhan si pemuda ini) menggugah hati rakyat di negeri itu. Akhirnya, seluruh rakyat beserta si raja beriman dengan pengorbanan si pemuda tadi.
Dr Yusuf al-Qaradhawi termasuk dari kalangan yang paling gigih membela bom bunuh diri yang disebut bom syahid tersebut. Ulama muda Saudi, seperti Syekh Salman al-Audah dan Syekh Sulaiman Nashir al-Ulwan, juga mendukung aksi ini. Menurut mereka, pengorbanan pemuda yang melakoni bom bunuh diri untuk membela rakyat Palestina yang dibantai. Mereka tidak mempunyai model perlawanan efektif, selain dari bom bunuh diri.
Sedangkan, beberapa ulama dari Saudi menolak keras model bom bunuh diri. Apalagi, sampai menyebut pelaku bom mendapatkan syahid di sisi Allah SWT. Mufti Arab Saudi Syekh Abdul Aziz al-Syaikh menyebutkan, mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri tidak bernilai syahid di sisi Allah.
“Membunuh diri sendiri merupakan kejahatan berat dan dosa besar. Mereka yang melakukan bunuh diri dengan cara meledakkan diri menggunakan bahan peledak (bom) termasuk penjahat yang mempercepat perjalanan mereka ke neraka. Hati mereka telah menyimpang jauh dari jalan yang benar, pikiran mereka telah diserang oleh kejahatan,” demikian petikan fatwa Syaikh al-Syaikh.
Para ulama yang menolak bom bunuh diri berdalil dengan ayat, “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian.” (QS an-Nisaa’ [4]: 29). Dan, hadis Rasulullah SAW, “Siapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” (HR Bukhari Muslim).
Ulama kelompok kedua juga menilai dari segi kemaslahatan. Bom bunuh diri pada realitasnya tidak membuat musuh Islam jera. Berbeda dengan kisah pemuda ashabul ukhdud di atas. Bisa saja, dengan serangan bom bunuh diri membuat musuh Islam lebih congkak dan bringas. Mereka membalasnya dengan perbuatan yang lebih kejam kepada kaum Muslimin.
Mengenai sebutan syahid bagi seseorang yang tewas, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan beberapa kriteria. Syahid yang terikat dengan suatu sifat, seperti setiap orang yang dibunuh fisabillah merupakan syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya termasuk syahid, orang yang mati karena penyakit tahun merupakan syahid dan yang semacamnya. Mereka yang syahid seperti ini terdapat dalam nash hadis Nabi.
Kedua, mengklaim seseorang syahid tanpa alasan yang jelas seperti di atas, hal ini tidak diperbolehkan. Berpedoman pada khotbah Umar bin Khattab, “Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si Fulan syahid dan si Fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Barang siapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid’.” (HR Ahmad).
Jadi, menjustifikasi seseorang telah mati syahid tidak boleh sembarangan. Karena syahid adalah tempat yang mulia di sisi Allah SWT dan tidak sembarangan orang yang mendapatkannya. Orang yang syahid langsung diterima di surga serta ia bisa memberi syafaat kepada 60 orang yang ia suka pada hari kiamat.
Ibnu Taimiyah menerangkan, mengklaim seseorang mendapatkan mati syahid berarti juga bersaksi bahwa orang tersebut masuk surga. Konsekuensi ini amatlah berat, kecuali dengan sifat yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW atau disaksikan langsung oleh Beliau.