REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Hasan al-Bashri bertutur bahwa pada suatu hari Khalifah Utsman ra berpidato di atas mimbar. Dia menyampaikan apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah SAW. Katanya, “Wahai sekalian manusia, tak seorang pun dari kalian yang melakukan sesuatu secara sembunyi-sembunyi kecuali Allah SWT akan menampakkan padahari kiamat melalui selendang [pakaian] yang akan dikenakan kepadanya. Apabila perbuatanya bagus maka selendang yang dikenakan bagus dan apabila perbuatannya buruk maka selendang yang dikenakannya buruk pula.”
Lalu, Khalifah Utsman membacakan kepada hadirin ayat ini, “Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan, mereka selalu ingat.” (QS al-A'raf [7]: 26).
Pakaian atau sandang dalam ayat di atas dikemukakan dengan kata libas dan risy. Menurut para pakar bahasa Alquran, libas semakna dengan kata tsaub atau tsiyab (QS al-Muddatstsir [74]: 4 ), yaitu sesuatu yang dipergunakan untuk menutup [sebagian] anggota badan. Sebagai contoh, gamis (qamish) adalah pakian; sarung (al-ditsar) juga pakaian; serban (`imamah) begitu juga.
Sementara, kata risy atau riyasy secara harfiah berarti bulu burung yang halus dan indah. Risy menunjuk pada pakaian yang dikenakan untuk memperindah atau mempercantik diri (ma yatajammalu bihi al-insan). Selain dua kata (libas dan risy) ini, ayat di atas memperkenalkan pakaian lain yang disebutnya lebih baik, yaitu pakaian takwa (libas al-taqwa).
Terdapat lima fungsi pakaian bila merujuk pada ayat di atas dan beberapa ayat lain yang semakna, yaitu menutup aurat, memperindah dan mempercantik diri, membangun identitas [menunjukkan kelas], menjaga dan melindungi diri dari bahaya perang, dan terakhir memperkuat moral dan spiritual untuk kemuliaan diri lahir batin, dunia dan akhirat. Yang terakhir ini merupakan fungsi dari pakaian takwa.
Dalam suatu hadis diterangkan bahwa iman itu telanjang (al-iman `uryanun), pakaiannya adalah takwa (wa libasuhu al-taqwa), dan hiasannya adalah rasa malu (wa zinatuhu al-haya’). (Lihat, Qut al-Ulub fi Mu`amalat al-Mahbub: 1/139). Lantas, apa yang dimaksud pakaian takwa itu?
Zaid bin Ali berpendapat, pakaian takwa itu adalah agama Islam itu sendiri. Menurut Ibn Abbas ra ia adalah iman dan amal shalih (huwa al-iman wa al-`amal al-shalih). Pendapat lain menyatakan bahwa pakaian takwa adalah moralitas dan keluhuran budi pekerti. (Tafsir al-Manar: 8/320).
Jadi, pakaian takwa adalah ketakwaan itu sendiri, yaitu sikap tunduk dan patuh kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Dalam pengertian lain, inti takwa adalah sikap mental atau kesadaran ketuhanan yang sangat tinggi pada sesseorang yang memandang Allah SWT selalu hadir menyertai semua aktivitasnya (Omni-present).
Kesadaran inilah yang membuatnya takut atau malu berbuat dosa. Tidak seperti baju dalam arti fisik dan aksesori yang kita pakai sehari-hari, takwa adalah baju (pakaian) kemuliaan yang akan melindungi kita dari murka Allah dan azab-Nya. Wallahu a`lam!