Rabu 02 Sep 2020 07:41 WIB

Kisah Tawanan Perang Badar Ajari Anak Muslim Menulis

Pengajaran menulis itu kemudian melahirkan para penulis wahyu.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Ani Nursalikah
Kisah Tawanan Perang Badar Ajari Anak Muslim Menulis. Santri tengah menulis kaligrafi Arab di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Tiimur. Ilustrasi
Foto: Beawiharta/Reuters
Kisah Tawanan Perang Badar Ajari Anak Muslim Menulis. Santri tengah menulis kaligrafi Arab di Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Tiimur. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang Badar adalah pertempuran besar pertama antara umat Islam melawan musuh-musuhnya. Pasukan Muslim menang dalam pertempuran ini meski jumlahnya lebih sedikit.

Kemudian Rasulullah Nabi Muhammad SAW memberi syarat untuk penebusan tawanan perang Badar, yaitu masing-masing tawanan yang bisa membaca dan menulis harus mengajarkan tulis-menulis kepada 10 anak kaum Muslimin.

Baca Juga

"Langkah cerdas Rasulullah SAW itu kemudian melahirkan para penulis wahyu," kata Ustadz Sutomo Abu Nashr dalam buku Kitab Fiqih Pertama dalam Perspektif Sejarah terbitan Rumah Fiqih Publishing.

Ustadz Sutomo mengatakan, pada awalnya hanya Alquran yang boleh ditulis. Kemudian pada langkah selanjutnya hadits-hadits Nabi Muhammad SAW juga mulai diizinkan ditulis.

Izin itu keluar secara jelas dari lisan mulia Rasulullah SAW kepada salah satu periwayat hadits terbanyak dari kalangan sahabat, yakni Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash, salah satu 'Abadillah yang empat. "Nabi Muhammad SAW bersabda kepada Abdullah, tulislah."

Maka dari sahabat mulia ini lahirlah sebuah shahifah atau lembaran-lembaran tulisan yang berisi hadits yang ditulis pada zaman Rasulullah SAW. Shahifah dikenal dengan As-Sahifah As Shadiqah. (Ibnu 'Abdil Barr, Jami' Bayan al 'Ilmi wa Fadhlihi).

Selain Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash, hanya ada satu dua sahabat lain yang juga melakukan penulisan yang sama. Jumlahnya memang sangat amat terbatas. Keterampilan menulis masih sangat jarang dimiliki oleh mereka. 

Sementara Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash memang dikenal sebagai pembaca kitab-kitab terdahulu dan bisa menulis Arab maupun Suryani. Sedangkan para shahabat yang lain lebih banyak yang buta huruf.

Meskipun ada yang bisa menulis, namun mereka tidak terlalu terampil dalam ejaan yang benar. Karena itulah Abdullah ibn 'Amr ibn 'Ash beserta sedikit sahabat diizinkan menulis, sedangkan sejumlah besar sahabat lain tidak diperkenankan. (Ibnu Qutaibah dalam Ta'wil Mukhtalif al Hadits, Muassasah Al Isyraq).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement