REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Semenjak meninggalnya Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan kembali berambisi merebut kekuasaan khalifah. Namun demikian, dalam Al-Husein bin Ali oleh Al-Hamid Al Husaini dijelaskan, menjelang meninggalnya Ali bin Abi Thalib, sahabat bertanya jika pengikutnya harus membaiat salah satu putranya, Hasan. Mendengar itu, Ali tidak menolaknya, maupun menyarankannya.
Alhasil, Hasan yang pada awalnya menolak, didesak oleh penduduk Kufah dan menerimanya. Ia pada saat itu juga mengetahui ada keinginan perebutan khalifah oleh Muawiyah.
Hingga pada akhirnya, Hasan mengajak Muawiyah bergabung sebagai khalifah. Meskipun, ajakan itu ditolak, karena Muawiyah merasa lebih mengerti dan berpengalaman atas politik.
Singkat cerita, kedua pihak itu juga tak lepas dari konflik. Utamanya, Muawiyah yang ingin menggulingkan Hasan yang telah dibaiat. Sampai dibuatnya keputusan atau perjanjian damai setelah pertempuran terjadi dan merugikan Hasan. Di mana, isinya adalah menyerahkan kekhalifahan pada Muawiyah, kejadian itu dipercaya terjadi pada 40 H.
Setelah menyerahkan kekuasaan khalifah, Hasan datang ke Madinah dan disambut penduduk dengan baik. Hal itu dikarenakan cucu Rasulullah datang kembali ke tempat Islam yang telah berjaya sejak Nabi Muhammad masih hidup. Di Madinah juga, Hasan tidak berkecimpung ke dunia politik, dan memilih fokus untuk beribadah.
Setelah menyerahkan Kekhalifahan itu pula, kedua tokoh, Hasan dan Muawiyah meninggal. Hasan yang saat itu berusia 46 tahun tepatnya pada 28 Safar 50 H, diracun. Beberapa sumber menyebut bahwa penyebab keracunan itu adalah perbuatan istrinya sendiri.
Al-Hamid Al Husaini menyebut jika yang meracuninya adalah Ja’dah binti Al-Asy’ats atas perintah Muawiyah yang menjanjikan hadiah. Namun sumber lain menyebut bahwa Hasan meninggal karena istri lainnya.
Namun, Yazid bin Muawiyah yang dinobatkan sebagai penerus pimpinan juga diketahui membenci keturunan Ali bin Abu Thalib, khususnya Husein, adik Hasan yang saat itu berada di Madinah dan dipaksa pergi.
Tak pelak, hal itu yang menjadikan Yazid dan pasukannya yang berada di Damaskus saat itu, membantai Husein dan pengikutnya di Karbala. Tepatnya pada 10 Oktober 680 M / Muharram 61 H.
Berdasarkan Ensiklopedi Oxford yang membahas Dunia Islam Modern oleh John L, Karbala berasal dari bahasa Aramik, Karbela. Sedangkan dalam literatur keagamaan Syiah, John menyebut, jika Karbala berasal dari dua suku kata, yakni Karb yang berarti duka cita dan bala’ berarti bencana.
Esposito juga menjelaskan, Karbala juga menjadi tempat masyhur di antara Syiah karena pertempuran itu.