Selasa 25 Aug 2020 16:39 WIB

Pembunuhan Habil dan Mengapa Islam Larang Hilangkan Nyawa

Islam melarang menghilangkan nyawa siapapun.

Islam melarang menghilangkan nyawa siapapun.  Pembunuhan (Ilustrasi)
Foto: pixabay
Islam melarang menghilangkan nyawa siapapun. Pembunuhan (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,

 وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ  

Baca Juga

“Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam.” (QS An Nisaa [4]: 93)

مِنْ أَجْلِ ذَٰلِكَ كَتَبْنَا عَلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا ۚ وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَٰلِكَ فِي الْأَرْضِ لَمُسْرِفُونَ

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.” (QS Al Maidah [5]: 32).

Tapi, mengapa ketika semakin berjarak dengan pembunuhan yang pertama di muka bumi tersebut, kami masih menanggung "beban" nafsu angkara pernah menjalari dirimu: membantai! Mungkin seperti kebanyakan kami pada masa kini, engkaupun Qabil merasakan superioritas menjalari tubuhmu, saat mencengkeramkan tanganmu ke tubuh saudara sendiri. Bukankah hawa nafsu yang merasuk raga, menyebabkanmu merasa (kuat) mudah untuk membunuh Habil.

فَطَوَّعَتْ لَهُ نَفْسُهُ قَتْلَ أَخِيهِ فَقَتَلَهُ فَأَصْبَحَ مِنَ الْخَاسِرِينَ 

“Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (QS Al Maidah [5]:30). Merasa diri superior, merupakan ambang (nafsu) keangkaraan.

Lihatlah: betapa kerap kita menyaksikan pribadi superior yang gagal dibendung dengan keimanan, menyebabkan seseorang mempertuhan dirinya. Firaun menjadi contoh terbaik. Superioritas yang kelewat megah, sejatinya berakar dari penyimpangan psikologis (mereka justru merupakan pribadi yang lemah dan sunyi sehingga menyelimuti dirinya dengan kemegahan ilusi dan superioritas). Di zaman Yunani maupun Rumawi kuno, masyarakat mempercayai roh jahat yang merasuk dan menguasai seseorang, menimbulkan penyimpangan psikologis (Davidoff, 1981).

Psikologi modern mengistilahkannya sebagai bentuk penyimpangan psikologis. Maka penyimpangan psikologis, seperti menjadi pribadi yang terlampau memuja diri sendiri, menyebabkan Hitler melakukan genoside (pembersihan etnis) terhadap Yahudi. Yahudi yang di dalam Alquran pun dicitrakan sebagai ras degil dan licik, membuat Hitler memandang hina Yahudi ketika mengagungkan rasnya.

Sejarah mencatat, Hitler yang menggunakan kekuatannya, menyebabkan Yahudi menjadi penduduk bumi tanpa negeri. Mereka diburu seperti tikus hingga ke ujung selokan. Hitler tidak sendirian. Phibul Songkram, membekal ilusi keagungan diri dan ras, ketika bertahta di Thailand pada 1938.

Melalui kebijakan Thai Ratanium (negara Thailand untuk rakyat Thailand), Phibul melakukan siamisasi terhadap ras Melayu Muslim di wilayah selatan Thailand. Mereka tidak boleh menggunakan nama-nama Muslim, bahkan, adat istiadat Islam. Ilusi kemegahan Siam, menyebabkan Phibul memperhina Melayu Muslim dengan menyuruh mereka menyembah patung.

Siapapun yang menentang dihukum pancung. Superioritas pun menggenangi wilayah keagamaan. Tidak mengherankan, mereka yang menjadi mayoritas akan menumbuhkan citarasa superior, sehingga meminggirkan kelompok minoritas.

Maka kelompok ras dan bangsa yang tidak mampu mengawal superioritasnya, membasmi kelompok ras-bangsa yang tidak sama dengannya. Hitler maupun Phibul dengan penyimpangan psikologisnya ada di mana-mana. Lihatlah: dengan motif tidak senang melihat Islam, mayoritas penduduk dan pemerintah Myanmar menindas masyarakat minoritas Islam di negeri itu pada 1930-an hingga sekarang. 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement