Senin 24 Aug 2020 17:29 WIB

Larangan Kurang Ajar Kepada Ulama

Ada yang mengingkari seorang alim (ulama) disebabkan kebodohannya sendiri

Rep: Ali Yusuf/ Red: A.Syalaby Ichsan
Ketua MUI Jawa Tengah bersama bersama Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah menyiapkan Tausiyah MUI Jawa Tengah hasil pembahasan bersama, di kompleks Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang, Selasa (21/4). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, mengeluarkan Panduan Ibadah Bulan Suci Ramadhan 1441 Hijriyah di tengah- tengah situasi pandemi Covid-19.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Ketua MUI Jawa Tengah bersama bersama Komisi Fatwa MUI Jawa Tengah menyiapkan Tausiyah MUI Jawa Tengah hasil pembahasan bersama, di kompleks Masjid Baiturrahman, Simpanglima, Semarang, Selasa (21/4). Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, mengeluarkan Panduan Ibadah Bulan Suci Ramadhan 1441 Hijriyah di tengah- tengah situasi pandemi Covid-19.

REPUBLIKA.CO.ID,  Keberanian orang-orang yang berlagak pintar mengeluarkan suatu di luar keahliannya merupakan penyebab utama terjadinya penghinaan terhadap para ulama. Keberanian mereka masuk ke dalam masalah fiqih perbandingan madzhab, dengan sedikit bekal, dan ambisi ingin cepat mencapai derajat mulia telah mendorong mereka mencela dan merendahkan kehormatan ulama.

"Ini ditambah dengan sikap mereka yang gampang menghina dan melecehkan, bahkan memberi cap bodoh (jahil) pada setiap orang yang bertentangan dengan mereka," kata Mufti Agung Mesir, Syekh Ali Juma'h dalam bukunya. "Menjawab Dakwah Kaum Salafi (jawaban ilmiah terhadap pemahaman dan cara dakwah kaum Salafi-Wahabi).

Perbuatan seperti ini kata Syekh Ali, tidak pantas dilakukan oleh orang awam apalagi oleh orang yang mengaku sebagai ulama. Sungguh tidaklah salah bila seorang alim berbeda dengan orang alim lainnya, begitu juga dengan seorang dai, dalam sebuah pendapat atau ijtihad hukum, selagi ai adalah orang yang mempunyai keahlian di bidang tersebut. 

"Akan tetapi masalah apabila menjadikan perbedaan ini sebagai legalitas untuk menghancurkan reputasi orang alim tersebut, merendahkan derajatnya, menghinanya maupun bertingkah tidak pantas kepadanya," katanya.

Di kalangan masyarakat ada yang mengingkari seorang alim (ulama) disebabkan kebodohannya sendiri mengenai fatwa yang dikeluarkan oleh ulama tersebut. Sepertinya mendengar sesuatu yang belum pasti atau masih ambigu dari si ulam. Dan ia tidak mengetahui banyak perkara yang menjadi penjelas dari suatu yang masih ambigu tersebut. "Tapi sayangnya ia tidak mau menuju ke seorang ulama untuk menanyakannya," kata dia. 

Lebih parah lagi kata Syekh Ali, ia malah terbang dengan perkara yang didengarkannya, dan menyiarkan bahwa fatwa ulama itu salah besar dan berdosa. Berangkat dari itu, mulailah ia menggulirkan tuduhan miring kepada si ulama, seperti bermudah-mudah dalam agama, berbuat bid'ah, pro-pemerintah, serta berbagai tuduhan yang tidak bisa dibenarkan dan tidak ada dasarnya kecuali hanya di benak pembangkangan itu sendiri.

"Tidak ada yang berani berbuat demikian, kecuali orang-orang yang mengaku makin pintar sama dan mereka telah menjadi ujian tersendiri bagi kita dewasa ini," kata dia.

Seandainya ia benar-benar alim, tentunya perbuatan semacam itu tidak akan keluar dari mulutnya, karena seorang alim itu tahu cara menghormati hak temannya sesama alim, tahu bagaimana caranya memberi bantahan dan polemik masalah ini ilmiah, dan tahu bagaimana cara berdebat.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement