Jumat 21 Aug 2020 07:55 WIB

Hadits Larangan Wanita Wangi dan Pendapat Mazhab Syafii

Terdapat sejumlah hadits yang dijadikan larangan wanita pakai parfum.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Nashih Nashrullah
Terdapat sejumlah hadits yang dijadikan larangan wanita pakai parfum. Parfum. Ilustrasi
Foto: Sciencealert
Terdapat sejumlah hadits yang dijadikan larangan wanita pakai parfum. Parfum. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Bolehkah perempuan menggunakan parfum wewangian? Persoalan ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Sebagian menghukumi haram, tetapi sebagian lainnya berpendapat hukumnya sebatas makruh li tanzih, yaitu derajat makruh yang tidak sampai pada batas haram, hanya untuk menjaga kehormatan seseorang. 

Lantas, apa saja dalil yang dijadikan dalam pelarangan memakai wewangian? Di antaranya adalah beberapa hadits berikut:  

Baca Juga

Rasulullah SAW pernah berkata kepada Abu Hurairah RA tentang perkara wewangian bagi muslimah saat menjalankan sholat. Dalam hadits yang diriwayatkan Muslim ini, Rasulullah bersabda: 

أيما امرأةٍ أصابت بخورًا، فلا تشهدْ معنا العشاءَ الآخرةَ

“Siapapun wanita yang menggunakan dupa (wewangian), maka janganlah ikut menghadiri sholat isya bersama kami.” (HR Muslim).

Dalam riwayat lain disebutkan: 

عن أبي هريرة رضي الله عنه أنه استقبلته -أي في الطريق- امرأة متطيبة فقال: أين تريدين يا أمة الجبار؟ فقالت المسجد. فقال: وله تطيبت؟ قالت نعم. قال أبو هريرة إنه قال: أيما امرأة خرجت من بيتها متطيبة تريد المسجد لم يقبل الله عز وجل لها صلاة حتى ترجع فتغتسل

 Abu Hurairah pernah bertemu dengan seorang wanita yang menggunakan wewangian dan hendak pergi ke masjid. Abu Hurairah pun bertanya, “Wahai hamba Allah, hendak pergi kemana kamu?” Lalu wanita itu menjawab, “Hendak ke masjid,” Abu Hurairah berkata lagi, “Karena hendak ke masjid, kamu memakai wewangian?”

Lalu wanita itu mengangguk. Maka Abu Hurairah pun berkata, “Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, ‘Siapapun wanita yang memakai wewangian, kemudian keluar menuju masjid, maka sholatnya tidak diterima hingga dia mandi.” (HR  Abu Dawud). 

Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada Abu Musa Al-Asyari tentang bahaya menggunakan wewangian. Dalam hadits yang diriwayatkan An-Nasa’i tersebut Rasulullah SAW bersabda: 

أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ، وَكُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ

“Siapun wanita yang menggunakan minyak wangi (wewangian), lalu berjalan melewati sekelompok kaum agar mereka dapat mencium bau wanginya, maka wanita itu adalah penzina,” (HR An-Nasa’i).

Bagaimana pendapat Mazhab Syafii? Mengutip NUonline, ketahuilah bahwa keluarnya seorang perempuan dalam keadaan berhias atau memakai minyak wangi dengan keadaan menutup aurat hukumnya makruh tanzih, tidak haram. Hal itu menjadi haram jika perempuan tersebut bertujuan untuk pamer (mendapatkan pandangan mata) dari kaum laki-laki; artinya bertujuan membuat fitnah terhadap mereka. 

Ibnu Hibban[58], al-Hakim[59], an-Nasa’i[60], al-Baihaqi[61] meriwayatkan dalam bab kemakruhan kaum perempuan untuk memakai minyak wangi, juga diriwayatkan oleh Abu Dawud[62] dari Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:

أيما امرأة استعطرت فمرت على قوم ليجدوا ريحها فهي زانية

(Perempuan manapun memakai wewangian kemudian lewat pada suatu kaum (laki-laki) agara mereka mendapati baunya maka ia seorang pelaku zina).

At-Tirmidzi[63] dalam bab tentang kemakruhan keluar perempuan dengan memakai wewangian, juga dari hadits Abi Musa al-‘Asy’ari dengan marfu’ kepada Rasulullah, ia bersabda:

كل عين زانية، والمرأة إذا استعطرت فمرت بالمجلس فهي كذا وكذا

(Setiap [kebanyakan] mata melakukan zina, dan perempuan jika ia memakai wewangian kemudian lewat di suatu majelis maka ia yang begini dan begini). Artinya ia seorang pelaku zina.

Hadits terakhir di atas dalam pengertian umum (muthlaq), sementara hadits yang pertama dengan lafal[ليجدوا ريحها] dalam pengertian yang dikhususkan (muqayyad).

Tujuan kedua hadits adalah sama. Karena itu maka pengertian yang umum (mutlaq) harus dipahami dengan mengaitkannya dengan pengertian yang khusus (muqayyad), sebagai mana kaedah ini telah menjadi keharusan dengan kesepakatan (ijma) mayoritas ulama, supaya kita terhindar dari konfrontasi dengan kesepakatan (ijma) mayoritas ulama tersebut. 

Karena itu tidak ada seorangpun dari para ulama yang menyatakan haram secara mutlak bagi seorang perempuan keluar rumah dengan memakai wewangian. Pemahaman semacam ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunan-nya, bahwa ia berkata[64]: “Kita [Isteri-isteri nabi] keluar bersama nabi menuju Makkah, dan kita melumuri wajah dengan misik wangi untuk ihram. Jika salah seorang dari kami berkeringat, air keringatnya mengalir di atas wajahnya [membentuk guratan-guratan], dan Nabi tidak mencegah”. Padahal Rasulullah dan isteri-isterinya berpakian ihram dari Dzil Hulaifah; suatu tempat beberapa mil dari Madinah.

Hadits pertama di atas diriwayatkan an-Nasa’i dan al-Baihaqi dalam suatu bab yang keduanya menamakan bab tersebut dengan “Bab makruh bagi perempuan untuk memakai wewangian”.

Bab tersebut dinamakan demikian karena keduanya paham bahwa hukum perempuan memakai minyak wangi adalah makruh tanzih. Lafak makruh jika diungkapkan secara mutlak maka yang dimaksud adalah makruh tanzih, sebagaimana dinyatakan para ulama Mazhab Syafi’i. Syaikh Ahmad ibn Ruslan berkata[65]:

وفاعل المكروه لم يعذب # بل إ ن يكف لامتثال يثب

(Seorang pelaku perbuatan makruh tidak disiksa, tetapi bila ia tidak melakukan perbuatan tersebut karena tujuan melaksanakan syariat, ia diberi pahala).

Sebagaiman diketahuai al-Baihaqi adalah salah seorang ulama besar madzhab Syafi’i. Pemahaman mazdhab Syafi’i ini juga diambil oleh madzhab Hanbali dan Maliki.

Artinya semua madzhab menyatakan bahwa lafazh “makruh” jika disebut secara mutlak maka yang dimaksud adalah “makruh tanzih”. Adapaun dalam madzhab Hanafi, umumnya penyebutan tersebut untuk tujuan “makruh tahrim”; artinya pelaku perbuatan tersebut telah berdosa.

Dengan demikian, orang yang mengharamkan keluarnya perempuan dengan wewangian, akan bersikap apa terhadap hadits ‘Aisyah di atas yang merupakan hadits shahih, karena tidak ada seorang ahli haditspun (al-hafizh) yang menyatakan hadits tersebut dhaif ?

 

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement