Kamis 13 Aug 2020 23:56 WIB

Perkembangan Aswaja di Asia Tenggara

Paham Aswaja berkembang di Asia Tenggara.

Perkembangan Aswaja di Asia Tenggara. Foto: Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
Foto: trekearth.com
Perkembangan Aswaja di Asia Tenggara. Foto: Masjid Sultan Omar Ali Saifuddin di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di Asia Tenggara, paham Aswaja (Ahlu sunnah wal jamaah) dikenal bersamaan dengan masuknya agama Islam. Sebagaimana Indonesia, negara lain terutama rumpun Melayu, mengenal agama Islam dari para pedagang. Para pedagang dari Gujarat dan Arab tersebut mengenalkan agama Islam dengan pemahaman Aswaja. Dalam perkembangannya, Aswaja terus bertahan di  kawasan Asia Tenggara. Bahkan, di Malaysia dan Brunei Darussalam, paham Aswaja menjadi landasan negara.

Hal Ehwal Syariah Kementerian Hal Ehwal Ugama Brunei Darussalam, Hj Suhaimi Gemok, mengatakan filosofi politik Brunei Darussalam yang diberlakukan sejak 1 Januari 1984 adalah Melayu Islam Beraja (MIB) atau Monarki Muslim Melayu. Falsafah politik tersebut mengacu pada dua hal mendasar, yakni Islam sebagai pedoman hidup, serta monarki dan kebudayaan Melayu sebagai  sistem pemerintahan dan administrasi negara.

Baca Juga

Berangkat dari falsafah tersebut, kata Suhaimi, lahir beragam konsep nilai keislaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Salah satu konsep yang menjadi landasan negara Brunei, yakni mengekalkan diri sebagai negara Islam bermazhab Syafi'I dan Aswaja. ''Hal ini agar rakyat setia kepada rajanya, melaksanakan ajaran dan hukum Islam serta menjadikannya sebagai pedoman hidup,'' ujarnya saat menghadiri seminar mengenai perkembangan Aswaja di Asia Tenggara yang digelar Kementerian Agama RI di Jakarta, belum lama ini.

Dengan landasan tersebut,  kata dia, negara melindungi Aswaja dan menentang segala paham yang menyimpang.  Negara juga terus berupaya agar aliran sesat tak membawa pengaruh di Brunei. Upaya itu dilakukan melalui undang-undang, Akta Majelis Ulama Islam, gerakan sosial, hingga khotbah Jumat.

Tak hanya di Brunei, negara jiran Malaysia juga melakukan hal serupa. Paham Aswaja dijadikan landasan negara. Penolong Pengarah Yayasan Dakwah Islamiah Malaysia (Yadim), Mohd Shauki Abd Majid, dalam artikelnya berjudul  "Mengekalkan Asia Tenggara Rantau Ahli Sunni" menyatakan, Malaysia seperti halnya Brunei meresmikan pemahaman Aswaja, khususnya Mazhab Syafi'i. Ia pun menyayangkan Indonesia yang tak melakukan sikap serupa.

Majid mengatakan, pemahaman Sunni sangat penting dikukuhkan di kalangan masyarakat. Mengingat paham tersebut telah tumbuh di masyarakat Melayu sejak ratusan tahun silam. Di Malaysia, lanjutnya, para ulama dan cendekiawan Muslim menegaskan perlunya Islam menjadi agama resmi negara dengan berpegang pada paham Aswaja.

Berkembang juga di Indonesia

Di Indonesia, landasan negara memang bukan Aswaja, melainkan Pancasila. Meski demikian, perkembangan Aswaja tak surut, terutama berkat kehadiran organisasi masyarakat (ormas) Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya disebut sebagai penjaga paham Aswaja di Indonesia.

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, mengatakan perkembangan Aswaja di Indonesia dipengaruhi buku-buku agama yang banyak terbit di abad ke-17. Para ulama besar menghadirkan karya yang memiliki peran besar dalam konsolidasi Aswaja di Indonesia. Beberapa ulama tersebut adalah Nuruddin ar-Raniri, Abdul Rauf al-Sinkili atau dikenal dengan Abdurrauf Singkel, dan Muhammad Yusuf al- Makassari atau Syekh Yusuf Makasar. ''Tiga ulama tersebut yang memainkan peran penting,'' ujar Azyumardi.

Selain tiga ulama tersebut, lanjut Azra,  ada pula Abdus Samad al-Palimbani atau Syekh Abdussalam Palembang, Muhammad Nafis al-Banjari atau Syekh Nafis Banjar, keduanya hidup di abad ke-18. Kemudian, Muhammad Nawawi al- Bantani atau Nawawi Banten, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, dan lain sebagainya yang hidup di abad ke-19.

Nuruddin, kata Zyumardi, membuat kitab fikih lengkap untuk pertama kalinya dalam bahasa Melayu, kemudian Syekh Andurrauf Singkel membuat tafsir 30 juz dalam bahasa Melayu. Buku ini menjadi satu-satunya tafsir Alquran dalam Melayu hingga abad ke-20. Tafsir tersebut bahkan dicetak juga di Haramain, serta ulama-ulama lain yang banyak menghasilkan hasil karya yang memainkan peran besar dalam konsolidasi Aswaja.

Selain itu, menurut Azyumardi, perkembangan Aswaja juga didukung dengan adanya Wali Sanga. ''Di abad ke-17, ulama-ulama kita banyak menghasilkan karya besar. Penyebaran Islam di kita kebanyakan oleh guru-guru sufi atau pedagang yang memiliki kecenderungan sufi. Kemudian, dipresentasikan oleh Wali Sanga.''

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement