REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Romawi dan Persia merupakan dua imperium yang mengalami pasang surut, kadang berjaya dan kadang pula kalah.
Di antara dua imperium itu, umat Islam pada masa awal ternyata lebih bergembira jika Romawi yang memenangkan peperangan mengalahkan Persia.
Kegembiraan Muslim jika Romawi menang diabadikan surah Ar-Rum ayat 4:
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ ".... Dan di hari kemenangan bangsa Romawi itu bergembiralah orang-orang yang beriman."
Kegembiraan atas kaum Muslimin jadi timbul pertanyaan mengapa kaum Muslimin memihak Romawi Timur, bukankah Romawi Timur itu juga beragama Nasrani?
Bagaimana bisa Rasulullah SAW dan para sahabat berpihak kepada selain Islam dan merasa bahagia ketika Romawi Timur yang non-Muslim itu menang atas Persia.
Wisnu Tanggap Prabowo dalam bukunya "Benarkah Kaisar Heraklius Masuk Islam" menjelaskan, mengapa kaum Muslimin senang jika Heralius menang.
Ceritanya bagini, ketika perang besar dan berkepanjangan antara Romawi Timur dengan Persia pada 603-628 Masehi Ini menimbulkan 'proxy war' di Makkah.
Musyrikin Makkah berafiliasi pada Persia karena kesamaan Ideologi dan teologi di antara mereka. Meski Majusi berbeda dengan paganisme maka tetapi kesamaan di antara mereka lebih kuat. Yakni sama-sama paganistik dan berseberangan dengan monoteisme 'millah' Ibrahim.
Adapun kaum Muslimin pada saat itu agamanya lebih dekat dengan agama Nasrani karena keduanya berasal dari rumpun yang sama, yakni agama Ibrahim yang lurus.
Alquran dan Injil juga kitab yang memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, misalnya mengenai kerasulan Muhammad SAW beserta ciri, dan waktu kedatangannya terdapat dalam Injil juga Taurat.
Sebelum kerasulan Muhammad, Nasrani adalah agama yang lurus dan sunnah yang berlaku adalah sunnah nabi Isa AS, hingga datangnya Islam. "Maka, sudah naluri kaum Muslimin jatuh keberpihakannya kepada imperium ahli kitab, yakni Romawi Timur," katanya.
Wisnu menjelaskan, bersinggungan dengan kaidah fiqih, keberpihakan kaum Muslimin merupakan sesuatu yang dimaklumi dan dipahami, yakni berpihak kepada keburukan yang lebih ringan dari keburukan yang ada.
Ahli kitab jelas lebih ringan kerusakannya ketimbang agama majusi yang jelas-jelas musyrik.
Kebahagiaan kaum Muslimin juga didasari atas menangnya keburukan yang lebih ringan atas keburukan yang lebih parah. Namun demikian, keberpihakan ini bukan berarti Rasulullah dan para sahabat ridha dengan penyelewengan akidah ahli kitab dan apa yang telah mereka ubah dan sembunyikan dari isi kitab mereka.
Rasulullah dan para sahabatnya tetap mendakwahkan dan menyuruh manusia pada Islam satu-satunya agama yang benar dan diterima di sisi Allah. Di waktu yang sama Rasulullah SAW dan para sahabatnya tidak menafikan dengan mutlak adanya kesamaan umum antara Islam dengan Nasrani karena keduanya memang dari Allah SWT.
"Perhatikanlah bagaimana Rasulullah dan para sahabat menempatkan diri, sebuah positioning yang adil, agung, dan proporsional. Tidaklah ini dipahami, kecuali oleh orang yang memiliki pandangan mendalam saat memahami sejarah," katanya.
Kejumudan, kedangkalan, dan keluguan dalam memahami sejarah yang membuat sebagian kaum muslimin pada hari ini berloyalitas (wala) kepada ahli kitab secara total tanpa menimbang faktor-faktor yang mengelilinginya.
Ibnu Taimiyah pernah berkata, "Orang yang cerdas bukanlah orang yang tahu mana yang baik dan yang buruk akan tetapi, orang yang cerdas adalah orang yang tahu mana yang terbaik dari dua kebaikan dan mana yang lebih buruk dari kedua keburukan."