REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD -- Daulah Abbasiyah sangat menonjol dalam bidang pendidikan pada masa kekhalifahan al-Makmun. Khalifah al-Makmun adalah seorang yang sangat mencintai ilmu pengetahuan di atas segalanya. Dia juga selalu memikirkan agama Islam dengan ilmu pengetahuan tersebut. Dia berusaha mengembangkan ilmu pengetahuan dan menerjemahkan buku-buku dari Yunani serta mengembangkan ilmu-ilmu dengan mendapatkan temuan baru.
Filsafat Yunani yang bersifat rasional menjadikan Khalifah al-Makmun terpengaruh dan mengambil teologi Mu’tazilah menjadi teologi negara. Pada masa itu, Islam menjadi negara yang tak tertandingi dalam bidang pendidikan serta banyak memberikan sumbangan ilmu pengetahuan terhadap dunia.
Namun, setelah silih bergantinya khalifah, Islam mulai mengalami kemunduran terhadap bidang pendidikan. Hal ini juga berhubungan dengan keruntuhan Daulah Abbasiyah sebagai suatu kedaulatan yang besar. Terjadinya jurang pemisah antara kekhalifahan dan komunitas keagamaan, terutama dalam hal “kemakhlukan Alquran”.
Terjadilah perselisihan di antara beberapa kelompok. Kelompok yang satu mengatakan bahwa Alquran itu adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah. Sedangkan kelompok yang satu lagi menya takan bahwa Alquran merupakan kalam Allah, bukan makhluk.
Sedangkan kemunduran di Cordova pada masa Daulah Umayyah II. Daulah Umayyah II yang dipimpin pertama kali oleh Abdurrahman ad-Dakhil yang merupakan pelarian dari penguasa Abbasiyah. Puncak kekuasaan Daulah Umayyah II terjadi pada masa pemerintahan Abdurrahman III dan al-Hikam. Kemajuan pada masa itu terlihat dalam berbagai bidang, antara lain bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan intelektual. Di Cordova yang merupakan pusat Daulah Umayyah II telah berdiri suatu universitas yang terpercaya dan mampu menandingi dua universitas besar lainnya, yaitu Universitas al-Azhar di Kairo dan Nizamiyah di Baghdad. Universitas ini menarik banyak mahasiswa, baik mahasiswa Kristen maupun mahasiswa dari negara Eropa lainya.
Pertemuan antara peradaban Arab Islam dan peradaban masyarakat setempat, menjadikan daerah itu pada masanya mempunyai kebudayaan Islam yang tinggi. Sehingga Spanyol menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam di daerah barat. Tetapi, kemajuan tersebut ditentukan oleh penguasa yang memiliki sikap kuat dan berwibawa yang mampu mempersatukan Islam.
Hancurnya Islam pada Perang Salib yang terjadi dalam beberapa gelombang menjadi pemicunya. Belum lagi aksi tentara Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, yang menghancurkan Daulah Abbasiyah dan membakar seluruh buku ilmu pengetahuan yang ada di Baghdad.
Ironisnya, setelah mencapai kemajuan dalam berbagai bidang dan selama beberapa abad menjadi kiblat ilmu pengetahuan, akhirnya kehancuran total dialami kota-kota pendidikan dan kebudayaan Islam yang mengakibatkan runtuhnya sendi-sendi pendidikan Islam dan melemahnya pemikiran.
Salah satu penyebabnya, kehidupan sufistik berkembang dengan cepat. Sehingga di setiap madrasah diajarkan tentang ajaran-ajaran sufisme. Dalam kurikulumnya pun, hanya terdapat ilmu-ilmu agama, sedangkan ilmu-ilmu lainnya tidak termasuk dalam pengajaran.
Berkurangnya kebebasan berpendapat dan memikirkan sesuatu menyebabkan para ahli di zaman kemunduran Islam hanya mengutip ijtihad para ahli sebelumnya. Mereka tidak menemukan pemecahan terbaru tentang permasalahan yang sedang berkembang dari hasil pemikiran mereka. Sehingga timbul pernyataan yang mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Akibatnya, tidak ada lagi ulama-ulama yang menghasilkan karya-karya intelektualisme yang meng agumkan.