Selasa 04 Aug 2020 20:16 WIB

Kesantunan Berbahasa dalam Islam

Umat Islam harus mencontoh Rasulullah dalam pengamalan kesantunan berbahasa.

Kesantunan Berbahasa dalam Islam
Foto:

Orang Paling Santun Berbahasa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang mulia paling santun berbahasa. Beliau sangat santun kepada siapa pun dalam keadaan bagaimana pun. Ketika ‘Aisyah menjawab “doa” kecelakaan bagi Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diucapkan oleh beberapa orang Yahudi, beliau meminta agar ‘Aisyah membiasakan bertutur lemah lembut. Hal itu dijelaskan dalam hadis berikut.

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Salam, telah memberi kabar kepada kami Abdul Wahab, dari Ayub, dari Abdillah bin Abi Mulaikah, dari ‘Aisyah raḍiyallahu ‘anha‘ bahwa sesung­guhnya orang-orang Yahudi datang kepada Nabi lalu mengucapkan ka­limat “Assamu ‘alaikum” (matilah kamu atau kecelakaan atasmu), maka lalu ‘Aisyah balik mengucapkan ke­pada mereka kalimat “Matilah dan celakalah kamu, lagi Allah melaknat kamu dan Allah murka kepadamu wahai orang-orang Yahudi! Nabi bersabda, “Sabarlah, ‘Aisyah. Biasa­kan lemah lembut dan tinggalkanlah kekerasan dan kekasaran!” ‘Aisyah berkata, “Apakah engkau tidak men­de­ngar apa yang mereka katakan?” Kemudian, beliau (Nabi) bertanya, “Apakah kamu tidak mendengar apa yang aku katakan kepadamu? Aku kembalikan kepada mereka. Lalu, dikabulkan doaku atas mereka, dan tidak dikabulkan doa mereka untuk diriku.”

Dari hadis itu, kita memperoleh pelajaran bahwa kepada orang yang berbuat jahat pun kita harus tetap bersikap lemah-lembut. Kalaupun membalas perlakuan buruk dan ucapan buruk, tidak boleh melebihi dari apa yang kita terima.

Hadis itu pula kiranya yang dijadikan oleh ulama masyhur, Al Hasan Al Bashri, sebagai rujukan bahwa umat Islam harus santun. Bahkan, menurut beliau, orang Islam yang baik ditandai dengan, di antaranya, tidak menghina; tidak mengejek; kalau ditegur, ia menyesal; kalau bersalah, ia istigfar, dan  bila dimaki, ia tersenyum sambil berkata, “Jika makian Anda benar, aku bermohon semoga Tuhan mengampuniku; dan Jika makian Anda keliru, aku bermohon semoga Tuhan mengampunimu.”

Dalam hadis lain, dijelaskan pula kesantunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepada pembantu rumah tangga atau budak pun, beliau sangat santun.

“Allah, Allah,  (ingatlah) mengenai apa yang dimiliki tangan kananmu. Berilah punggung mereka pakaian, kenyangkanlah perut mereka, dan le­mah-lembutkanlah ucapanmu terhadap mereka.”

Ibnu Hamzah al Husaini al Hanafi ad Damsyiqi, dalam kitab Asbabul Wurud (terjemahan Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim) menjelaskan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad dalam Thabaqat-nya, at-Thabrani dalam al-Jaami’ul kabir, dan Ibnu Sunny dan Ka’ab bin Malik raḍiyallahu ‘anhu. Dijelaskannya pula bahwa asbabul wurud hadis tersebut adalah Ka’ab bin Malik menceritakan bahwa pernah ada janji antara dia dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum wafat. Pesan itu (janji) itu diucapkan beliau selama lima malam dan Ka’ab bin Malik mendengarnya. Beliau mulai dengan ucapan Allah, Allah dan seterusnya sesuai dengan hadis tersebut.

Selanjutnya, Suwarto Wijaya dan Zafrullah Salim menjelaskan bahwa yang dimaksud milkul yamin dalam hadis itu adalah pembantu rumah tangga atau budak. Ucapan Allah, Allah berarti perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ka’ab bin Malik agar bertakwa kepada Allah dalam mengendalikan pembantu rumah tangga atau budak yang ada dalam kekuasaannya. Perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selanjutnya adalah agar Ka’ab bin Malik mencukupi pakaian dan makanan gizi mereka; bergaul dengan mereka berlandaskan akhlak mulia yang di antaranya adalah berbicara dengan lemah lembut dan sikap baik.

Kesantunan berbahasa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sungguh sangat sempurna keluhurannya. Pembantu rumah tangga pun harus diperlakukan dengan santun. Berkenaan dengan itu, umat Islam harus menjadikannya sebagai rujukan akhlak berkomunikasi, baik ketika berkomunikasi bersemuka maupun berkomunikasi takbersemuka.  Berbeda halnya kesantunan berbahasa menurut kaidah pragmatik. Menuurut kaidah pragmatik,  orang yang berstatus sosial rendahlah yang harus santun berbahasa kepada orang yang berstatus tinggi.

Umat Islam harus mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan kesantunan berbahasa. Bukankah apa yang dikatakan dan dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersandarkan wahyu sebagaimana firman Allah dalam surat an-Najm (53) :3-4?

“ … dan tiadalah yang diucapkanya itu (Alquran) menurut hawa nafsunya. Ucapannya tiada lain hanya wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

Dalam hubungannya dengan kesantunan berbahasa di dalam Alquran, mari kita perhatikan firman Allah Subhaanahu wa Ta’ala dalam Alquran, misalnya, pada Surat al-Baqarah (2): 83; Ali ’Imran (3): 159; Ibrahim (14): 24-26; an-Nahl (16): 125;al-Isra (17): 23; Thaha (20): 43-44; al-Hajj (22): 24, dan al-Ahzab (33): 70. Kita perhatikan pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadis yang lain. Tidak ada satu pun ayat dan tidak ada satu pun hadis yang memboleh­kan umat Islam berbicara kasar dan kotor.

Dalam kehidupan nyata cukup banyak di antara umat Islam yang memperlakukan pembantu rumah tangga dengan kasar. Jika melakukan kesalahan, pembantu dimaki-maki. Di samping itu, ada di antara umat Islam yang berstatus sosial dan berpendidikan tinggi tanpa merasa bersalah sedikit pun, mereka sengaja melanggar kesantunan berbahasa yang dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kondisi yang demikian terasa sekali terutama di dunia politik.

 

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement