Senin 03 Aug 2020 19:18 WIB

Rasisme Barat dan Noktah Hitam dalam Peradaban Islam

Rasisme pernah muncul dalam sekelumit episode peradaban Islam.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Nashih Nashrullah
Rasisme pernah muncul dalam sekelumit episode peradaban Islam. Ilustrasi black live matter. ra
Foto:

Menggarisbawahi kondisi historis ini, tentunya tidak dimaksudkan untuk mengecilkan kekejaman yang dilakukan orang Eropa. Tujuannya lebih untuk menunjukkan bahwa konsekuensi dari imperialisme Arab, Turki dan Persia masih menjadi bukti yang jelas hari ini dalam kekuatan politik, ekonomi dan militer yang dipegang oleh orang-orang ini dan  negara-bangsa mereka.

Minoritas seperti suku Amazigh, Berber, dan Kurdi, misalnya, hampir tidak memiliki peluang untuk melakukan advokasi untuk kepentingan mereka sendiri. Walaupun beberapa individu, kini telah dapat mengambil posisi penting dalam masyarakat melalui asimilasi.

Meski demikian, Kurdi dan Palestina dalam beberapa hal mendapat manfaat dari dominasi Muslim di Timur Tengah. Masalah utama mereka adalah kewarganegaraan, yang muncul selama seratus tahun terakhir. Sebelum penciptaan negara-bangsa, mereka merupakan mayoritas Muslim yang istimewa, terlepas dari status ekonomi mereka.

Dalam konflik antara Israel dan Palestina, atau lebih tepatnya reaksi terhadapnya, warisan kekaisaran membuat dirinya terasa di pihak Arab. Ini tentu saja bukan upaya untuk mengungkap kejahatan yang dilakukan  tentara Israel yang mendapat perlengkapan terbaik atau pembantaian warga sipil selama berdirinya negara.

Namun, penolakan umum terhadap negara Yahudi tidak hanya oleh orang-orang Arab tetapi juga hampir semua Muslim. Ini mengungkapkan pandangan istimewa yang mereka rasakan terhadap konflik tersebut. 

Fakta bahwa di zaman negara-bangsa, orang-orang Yahudi yang mengklaim sebuah negara untuk diri mereka sendiri dipandang sebagai tindakan kurang ajar. Sikap ini menunjukkan kurangnya kesadaran tentang bagaimana orang-orang Yahudi di Timur Tengah selalu menjadi korban dari berbagai jenis diskriminasi, seperti larangan membawa senjata. Yahudi berada di bawah tekanan konstan untuk membenarkan diri mereka sendiri dan bergantung pada perlindungan masyarakat di bawah kekuatan itu.

Berbeda dengan orang Arab dan Turki, orang Yahudi biasanya dianggap dan disajikan sebagai penindas berkulit putih. Ini terlepas dari kenyataan bahwa mereka dianiaya selama ribuan tahun.

Cara berpikir ini juga terlihat dalam diskusi lain Ketika falafel dan hummus disajikan sebagai masakan Israel, banyak yang mengatakan ini adalah perampasan budaya oleh penjajah, yang di dalamnya terdapat kebenaran. Tetapi, seberapa besar budaya Levant benar-benar Arab?  Apakah ini mungkin berasal dari Yunani, Yahudi, Asyur, Kurdi atau Koptik?

photo
Demonstran Black Lives Matter berdemonstrasi menentang rasisme dan kebrutalan polisi di sebelah Pusat Keadilan di pusat kota Portland, Oregon, AS, 01 Agustus 2020. - (EPA-EFE/ETIENNE LAURENT)

Warisan budaya-budaya ini tidak terlihat oleh nasionalisme Arab, seperti halnya budaya Palestina oleh Negara Israel. Memang benar bahwa proses Arabisasi (Turkisasi, Kurdiisasi, Muslimisasi) budaya lokal lebih lambat dan lebih berbahaya daripada Israelisasi Palestina. Tetapi masalah dasarnya masih sama.

Respons yang memadai terhadap masalah yang dijelaskan di atas sama sekali bukan mencoba untuk memutar waktu kembali. Orang-orang Turki tidak boleh kembali ke Asia Tengah, atau orang-orang Arab ke Arab Saudi, dan kita tidak bisa mengharapkan penduduk Yahudi Israel untuk pindah ke tanah air nenek moyang buyut mereka. Sangat dipertanyakan apakah pendirian negara-bangsa untuk masing-masing kelompok populasi ini benar-benar akan membawa perbaikan.

Terlebih lagi, kelompok etnis, bahasa dan agama yang diperlakukan dalam artikel ini dan di tempat lain sebagai blok monolitik sebenarnya tidak didefinisikan secara jelas seperti yang diasumsikan secara umum, tetapi sebaliknya rumit dan kontroversial. Penunjukan nasional dalam banyak kasus hanya memperoleh panggung baru-baru ini, dan tidak selalu jelas siapa yang termasuk dan siapa yang tidak, dalam keadaan apa.

Semua ini membuat sulit untuk berurusan dengan topik yang ada, dengan tujuan mencapai keadilan dan keseimbangan yang lebih besar. Namun demikian, saatnya telah tiba untuk memulai diskusi tentang tanggung jawab yang ditanggung oleh orang Arab, Turki, Persia, dan Kurdi.

Pembagian dunia yang sederhana di mana hanya orang Eropa yang bisa menjadi penjajah dan pengeksploitasi dan yang lainnya adalah korban belaka. Tidak hanya menyesatkan, ia juga mereproduksi narasi orientalis. 

Akhirnya, asumsi bahwa Barat selalu menjadi subjek rasional yang sepenuhnya menyadari tindakannya, sementara "Timur" adalah objek irasional dari peristiwa yang diberikan, tidak hanya mengaburkan pandangan kita tentang fakta sejarah, tetapi juga secara halus merendahkan orang Arab, Turki, Persia, dan Kurdi.  

 

Mereka yang telah menciptakan kerajaan dan menaklukkan seluruh benua harus bertanggung jawab.  Jangan biarkan diskusi ini kepada orang yang salah.

Sumber: https://en.qantara.de/content/muslim-racism-and-imperialism-power-and-exclusion?nopaging=1

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement