REPUBLIKA.CO.ID, Dunia global baru-baru ini dihebohkan dengan solidaritas dan simpati terhadap penderitaan populasi "hitam" atau black di Amerika Serikat. Gelombang protes pecah tidak hanya di Amerika Serikat dan Eropa, tapi juga negara lainnya.
Gambaran solidaritas khususnya ditandai di Timur Tengah dan komunitas Timur Tengah di Eropa dan Amerika Serikat. Mereka merupakan korban rasisme di tangan orang kulit putih utara. Orang-orang yang secara historis tertindas, kini menyerukan keadilan dengan semangat dan amarah yang sama dengan orang-orang kulit hitam.
Yang paling menonjol di antara mereka adalah orang Kurdi dan Palestina. Perjuangan mereka belum menyusut upaya mendapat kesejajaran. Perjuangan mereka sendiri dan perjuangan orang kulit hitam di Amerika Serikat sama, mengklaim bahwa mereka menderita.
Tapi, bukan hanya Kurdi dan Palestina yang merasakan hal ini. Kebanyakan orang di Timur Tengah merasa bahwa orang kulit hitam bukan satu-satunya korban rasisme. Kondisi ini mungkin benar sampai batas tertentu, tetapi memiliki efek mengalihkan perhatian dari masalah yang sangat nyata, rasisme dalam komunitas mereka sendiri.
Tayfun Guttstadt, dalam artikelnya yang diunggah di Qantara, menyebut tradisi perbudakan telah terjadi selama berabad-abad. Selama hampir satu milenium, umat Islam dari Timur Tengah mendominasi wilayah Mediterania dan sebagian besar Afrika dan Asia. Selama waktu itu mereka memperbudak jutaan orang, terutama orang-orang dengan kulit hitam.
Mereka yang dijual di pasar budak untuk dikirim ke seluruh dunia sebagian besar berasal dari Afrika Sub-Sahara. Perbudakan mereka sejalan dengan hukum yang ada dan sebagian besar ditulis serta diadopsi leluhur Kurdi, Turki, dan Arab saat ini.
Orang kulit hitam diperbudak sebagai pelayan, pekerja dan tentara, tanpa mempertimbangkan kehidupan, kesehatan, atau keadaan pikiran mereka. Laki-laki kulit hitam sering dikebiri agar mereka cocok sebagai penjaga atau pelayan di harem maupun keluarga kaya.
Sampai hari ini, orang kulit hitam masih di bawah hierarki sosial. Mereka direndahkan dan memiliki lebih sedikit kesempatan untuk kerja. Dalam konteks bercanda, mereka disebut sebagai "budak" atau kasim. Pada saat kerusuhan sosial seperti Arab Spring, mereka sering menjadi target kekerasan fisik.
Meskipun perbudakan telah secara resmi dihapuskan di hampir semua negara di Timur Tengah, ketidaksetaraan struktural tetap ada. Hal ini sama seperti yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Mereka mencegah orang kulit hitam berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan mengumpulkan kekayaan.
Orang kulit hitam hampir tidak pernah terlihat di posisi kepemimpinan atau di televisi. Orang tua yang bukan kulit hitam tidak ingin anak-anak mereka menikah dengan orang kulit hitam.
Dengan menyoroti individu berkulit hitam yang memainkan peran penting di masa-masa awal Islam atau di Angkatan Darat Ottoman, bahkan mungkin mendapatkan gelar terkenal, semua ini bertujuan untuk dilupakan. Tapi tidak berhenti di situ, sejarah Islam juga ikut "dikapur" atau "dikuliti".
Sama seperti orang Kristen utara yang membayangkan Yesus sebagai pemuda berambut pirang keriting dengan kulit seputih salju, sebuah gagasan yang sepenuhnya tidak masuk akal, semua umat Muslim di masa awal digambarkan sebagai orang Arab, kecuali Bilal. Ia kurang lebih menjadi "token hitam" dalam historiografi Islam.
Sebagai salah satu sahabat yang pertama bertobat, suara Bilal yang indah membawanya ke ketenaran sebagai muazin. Setelah itu, ia ditampilkan sebagai contoh cemerlang dari egalitarianisme Islam yang seharusnya tidak berubah.
Di beberapa negara Afrika, penindasan dan eksploitasi populasi kulit hitam oleh Muslim sejak lama menjadi topik perdebatan yang intens. Menurut beberapa aktivis, penaklukan Muslim bagi Afrika sama dahsyatnya dengan kolonialisme Eropa.
Namun demikian, poin dari artikel ini bukan untuk membandingkan dan membedakan fenomena yang sangat berbeda secara historis dan struktural ini. Inti artikel ini adalah mengakui kompleksitas sejarah manusia dan kemahahadiran penindasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Bahkan sebelum imperialisme Eropa, dunia sama sekali tidak bebas dari klaim superioritas atau pengucilan dan kebencian atas dasar warna kulit, agama, bahasa atau latar belakang asal.
Jika rasisme dipahami sebagai instrumen kekuasaan, masuk akal untuk mengatakan umat Islam, yang relatif baru-baru ini menjadi salah satu kelompok ekonomi, militer dan budaya yang paling dominan di dunia, menggunakan mekanisme ekslusifitas serupa untuk melegitimasi status istimewa mereka. Hal ini sama seperti halnya orang Eropa Barat yang melakukannya ratusan tahun kemudian.
Rasisme sebagai ilmu (semu), mungkin merupakan penemuan Zaman Eropa. Tetapi pembagian populasi menurut kriteria seperti warna kulit, etnis atau agama dengan status dan hak yang diberikan, sayangnya telah ada sejak zaman dahulu kala.
Penting juga untuk mengingat sejauh mana warisan imperialisme Arab-Islam, Persia, Seljuk, dan Ottoman masih membentuk dunia hingga hari ini.
Bahasa Arab adalah lingua franca dari Teluk ke Gibraltar, tentu saja tidak ada hubungannya dengan bahasa yang mudah dipelajari. Mirip dengan Perancis dan Inggris, bahasa ini menang sebagai akibat dari tekanan ekonomi, politik dan militer, baik langsung maupun tidak langsung.
Banyak budaya dan bahasa ditekan atau bahkan dihancurkan imperialisme Arab, Persia, dan Turki. Fakta bahwa Islam adalah agama dominan dari Maroko hingga Mongolia memiliki alasan yang lebih dari sekadar teologis. Orang-orang Yahudi, Armenia, Yunani, dan banyak lainnya melihat diri mereka menjadi minoritas di tanah air mereka yang bersejarah.
Selain konversi ke Islam karena keyakinan, ada juga konversi paksa dan yang dilakukan karena oportunisme. Bagaimanapun, bidang-bidang utama kehidupan sosial hanya diperuntukkan bagi umat Islam dan konversi ke agama kelas penguasa dapat membuka kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbayangkan.
Dikombinasikan dengan faktor-faktor lain, seperti kerusuhan yang terjadi sesekali dan pembantaian minoritas, kehancuran waktu perang, serta tekanan politik dan ekonomi, kehidupan non-Muslim perlahan tapi pasti musnah.
Sebagian besar wilayah di Timur Tengah hampir tidak memiliki minoritas dalam populasi mereka saat ini. Eksodus orang Kristen Timur Tengah, misalnya, berlanjut hingga hari ini.