REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekuasaan Allah tiada tara sehingga apa pun yang dikehendaki-Nya pastilah terjadi dengan sangat mudah. Namun nyatanya, Allah bisa berutang kepada hamba-hamba-Nya, benarkah demikian?
Hanif Luthfi dalam bukunya berjudul Utang: Antara Pahala dan Dosa menjelaskan, utang yang berpotensi pahala yang pertama adalah memberikan utang kepada Allah. Utang di sini merupakan ungkapan lain dari shadaqah.
Tentunya, dengan penyebutan istilah pinjaman ini akan timbul pertanyaan mengapa Allah menyebut sedekahnya seorang hamba sebagai sebuah pinjaman atau utang Allah. Para ulama telah menjawab pertanyaan tersebut bahwa Allah menyebutnya sebagai pinjaman, bahwa pahala yang dijanjikan Allah atas sedekah manusia itu pasti akan diberikan.
Allah juga memberikan ganjaran bagi hamba-hamba-Nya yang memberikan pinjaman itu. Sebab, manusia sejatinya memiliki sikap kikir sehingga Allah perlu memberikan ganjaran atas kebaikan-kebaikan yang dilakukan seorang hamba.
Terdapat banyak sekali dalil Alquran yang menganjurkan manusia memberi utang kepada Allah SWT. Salah satunya adalah di dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 245 berbunyi: "Man dzalladzi yuqridhullaha qardhan hasanan fayudhaifahu lahu adh'afan katsiratan wallahu yaqbidhu wa yabsuthu wa ilaihi turja'un,".
Yang artinya: "Barangsiapa yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak. Allah menahan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya lah kamu dikembalikan,".
Selain itu, dalam Surah At-Taghabun ayat 17, Allah SWT berfirman: "In tuqridhullaha qardhan hasanan yudhaifhu lakum, wa yaghfir lakum wallahu syukurun halimun,". Yang artinya: "Jika kamu meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Dia melipatgandakan (balasan) untukmu dan mengampuni kamu. Dan Allah Mahamensyukuri, Mahapenyantun,".
Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir At-Thabari Jami Al-Bayan fi Ta'wil Alquran menjelaskan sebuah hadits yang menjelaskan mengenai kisah seorang suami istri yang memberikan 'pinjaman' kepada Allah SWT. Suami dari pasangan tersebut merupakan sahabat Rasulullah SAW dari kaum Anshar bernama Abu Dahdah.
Ketika terdapat anjuran untuk memberikan pinjaman kepada Allah dalam bentuk shadaqah dalam wahyu-Nya, Abu Dahdah menghampiri Rasulullah SAW dan bertanya pada beliau: "Ya Rasulullah, apakah (benar) Allah menginginkan pinjaman dari kami?". Rasulullah pun menjawab: "Benar,".
Maka, Abu Dahdah pun menunjuk ke arah kebun dan berkata: "Aku telah memberi pinjaman kepada Rabb-ku kebunku. Kebun tersebut memiliki 600 pohon kurma,". Saat berbicara seperti itu, istri serta keluarga Abu Dahdah tengah berada di dalam kebun kurma tersebut. Abu Dahdah pun segera memerintahkan mereka keluar dari kebun yang telah dipinjamkan kepada Allah.
Istri beserta keluarga Abu Dahdah pun keluar dari kebun tersebut. Kemudian bersama Abu Dahdah, keluarga mulia itu meninggalkan kebun yang telah disedekahkan tadi. Atas sikapnya ini, Rasulullah SAW memuji sikap Abu Dahdah beserta keluarganya.
Rasulullah berkata: "Kam min adzqi radaahi fil-jannati li-abi Ad-Dahdahi. Wa fi lafzhin: rubba nakhlatin mudallatin uruquha ruddun wa yaquuwt li-Abi AD-Dahdah fil-jannati,". Yang artinya: "Begitu banyak tandan anggur dan harum-haruman untuk Abu Dahdah di surga. (Dalam lafadz lain): Begitu banyak pohon kurma untuk Abu Dahdah di surga. Akar dari tanaman tersebut adalah mutiara dan yaqut (sejenis batu mulia).
Inilah yang dimaksud memberi utang kepada Allah SWT, yakni bersedekah dengan diniatkan hanya kepada Allah SWT. Sedekah yang diberikan diniatkan untuk kebaikan orang lain, lingkungan, masyarakat dan umat, yang kesemuanya diniatkan atas jalan Allah SWT.