REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rangkaian kata yang diucapkan seakan bermantera. Dalam sekejap, kerumunan massa terbentuk. Mereka menantikan kata demi kata bijak dari ceramah yang disampaikan satu sosok kharismatik, Abu al-Husayn ibnu Sam'un (912-997). Di seantero Kota Baghdad ia dikenal dengan sapaan akrab, Ibnu Sam’un.
Para sejarawan menyanjungnya sebagai ulama besar pertama yang sangat menguasai seni berceramah. George Makdisi melalui uraiannya dalam Cita Humanisme Islam, mengungkapkan, besarnya pengaruh Ibnu Sam’un membuat ceramah-ceramah yang ia lakukan menarik minat para ulama dan tokoh di Baghdad pada masa itu.
Sebagian besar ceramah yang ia sampaikan dikumpulkan. Sangat disayangkan, telah banyak kumpulan tersebut yang hilang. Hanya tersisa beberapa fragmen atau penggalan-penggalan naskah. Berkat Ibnu Sam’un, ujar Makdisi, seni berceremah mendapat pijakan kuat sebagai sebuah bidang khusus yang dikaji cendekiawan dan ulama Muslim.
Seni berceramah juga menjadi mata pelajaran khusus yang diajarkan halaqah atau kelompok belajar di masjid maupun di perguruan tinggi. ‘’Garis pengaruh seni berceramah di kalangan pengikut Ibnu Hanbal dimulai oleh Ibnu Sam’un,’’ jelas Makdisi.
Proses pewarisan keahlian berceramah ini terus berlanjut hingga masa Ibnu al-Jawzi pada abad ke-12. Cendekiawan Muslim, al-Khatib menjuluki Ibnu Sam’un dengan panggilan syekh, imam besar, dan orator ulung. Selain karena ceramah-ceramahnya yang terkenal, Ibnu Sam’un pun menguasai bidang tasawuf dan kalam.
Al-Khatib menyatakan, Ibnu Sam’un memberikan banyak panduan dan menjadi acuan yang sangat tepat soal etika serta berbagian ilmu lainnya. Di samping itu, kata-kata bijak dan pembangkit moral Ibnu Sam’un sangat ditunggu-tunggu khalayak. Hal ini disampaikan sejawatnya, bernama Abu Muhammad al-Sunni.
Abu Muhammad mengisahkan pula momen-momen penting pada saat Ibnu Sam’un masih remaja. Menurut dia, Ibnu Sam’un sejak semula memang berkeinginan menjadi seorang ahli agama. Cita-citanya itu juga disampaikan kepada ibunya. Suatu hari, Ibnu Sam’un berkata kepada ibunya bahwa ia akan menunaikan haji.
Ibunya bertanya, ''Apakah engkau memiliki cukup uang untuk biaya bepergian ke Tanah Suci?'' Kemudian, sang ibu tertidur. Tak lama kemudian, dia terbangun dan berkata pada Ibnu Sam'un. "Oh anakku, pergilah engkau ke Tanah Suci, karena sesungguhnya aku telah bertemu Rasulullah dalam mimpiku dan ia meminta membiarkanmu pergi.’’
Jadilah Ibnu Sam'un berangkat ke Tanah Suci setelah menjual koleksi bukunya. Di sisi lain, Ibnu Sam’un memiliki sejumlah guru ternama. Al-Khatib mengatakan, Ibnu Sam’un memiliki guru hadis bernama Ibnu Abi Dawud. Menurut Ibnu Asakir, guru paling penting dalam catatan intelektualitas dan spiritual Ibnu Sam’un adalah Abu al-Hasan al-Asyari.
Ibnu Sam’un tak hanya dikenal dengan kemampuannya dalam seni berceramah. Namun, ia memiliki keteguhan hati dan memiliki keinginan kuat tetap menyampaikan kebenaran. Meski ia harus berurusan dengan penguasa. Pada suatu masa, Khalifah Adud al-Dawlah melontarkan gagasan.
Khalifah berniat menghentikan ceramah dan khutbah di masjid dan jalan-jalan di Kota Baghdad. Langkah ini bermula dari ketegangan antara Suni dan Syiah. Ia menilai, ceramah yang disampaikan penceramah dari kedua kelompok itu telah mematik ketegangan di tengah masyarakat.
Ibnu Sam’un menentang niatan itu. Ia pun terus menggemakan ceramahnya yang menarik perhatian banyak orang. Akibatnya, ia dipanggil ke istana. Ia tak gentar dan memenuhi panggilan tersebut dan malah meluluhkan hati khalifah dengan nasihat-nasihat yang menyentuh hatinya.
Menurut Ibnu Sam’un pesan-pesan agama harus tetap disampaikan kepada masyarakat meski harus berhadapan dengan kekuasaan. Dalam buku Kisah Orang-orang Zalim, Muhammad Abduh mengatakan bahwa Ibnu Sam'un adalah seorang laki-laki yang tidak dapat diam untuk terus mengatakan kebenaran.
Termasuk ketika dia dibawa ke istana karena dianggap melanggar perintah Khalifah Adud al-Dawlah. Khalifah mengutus Syukur al-Adhudi untuk mencari dan membawa Ibnu Sam'un. Saat bertemu ulama tersebut, Syukur mendapati bahwa Ibnu Sam'un sangatlah berwibawa dan saleh. Syukur merasakan kesucian Ibnu Sam'un.
Sesampai di hadapan Ibnu Sam’un, Syukur menyampaikan instruksi khalifah dan disanggupi oleh Ibnu Sam'un. Tokoh ini, dipertemukan dengan khalifah di dalam ruang pribadinya. Khalifah sedang duduk seorang diri. Dan tanpa sungkan, Ibnu Sam'un segera membacakan Alquran yaitu surat Hud ayat 102 dan Yunus ayat 14.
Lalu, mengalirlah serangkaian nasihat Ibnu Sam’un kepada khalifah. ‘’Nasihatnya sangat menyentuh, sehingga air mata khalifah jatuh bercucuran,'' papar Abduh dalam bukunya. Tak lama setelah Ibnu Sam'un keluar, khalifah pun memerintahkan Syukur untuk memberikan hadiah kepada Ibnu Sam’un.
Ibnu Sam’un mendapatkan hadiah berupa uang sebesar 3.000 dirham dan sepuluh helai pakaian baru. Khalifah dikisahkan pula sempat menawarkan salah seorang budak perempuannya kepada Ibnu Sam’un untuk dijadikan istri. Semua kalangan juga menaruh hormat pada Ibnu Sam’un.
Dalam ceramahnya, Ibnu Sam'un selalu mendorong umat untuk terus mengikuti teladan Nabi Muhammad SAW. Ada sejumlah penekanan yang sering ia tekankan saat berceramah, yaitu menghindari perselisihan antarumat Islam, berlaku adil, menghindari kesalahan, dan tidak mencela orang lain yang melakukan kesalahan.
Ibnu Sam’un berpandangan agar setiap orang untuk selalu memperbaiki kesalahan yang pernah dibuatnya, menurunkan ego pribadi, mempererat ukhuwah, dan menjauhi permusuhan.