REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Al-Mawardi, nama yang tidak asing dalam ilmu politik. Ia adalah salah satu tokoh dan pemikir peletak dasar keilmuan politik Islam.
Pakar ilmu politik termasyhur di era Kekhalifahan Abbasiyah. Ilmu politiknya menjadi penyangga kemajuan Abbasiyah. Ia jugalah yang menjadi penyelamat berbagai kekacauan politik di negaranya, Basrah (kini Irak). Pengalaman berharga menjadi qadhi (hakim) dan duta keliling khalifah menjadi bekal dalam penyelesaian kekacauan tersebut.
Nama lengkapnya Abu al-Hasan Ali bin Habib al-Mawardi. Orang-orang Barat menyebutnya Alboacen. Al-Mawardi lahir di kota pusat peradaban Islam, Basrah (Baghdad) pada 386 H/975 M.
Ia lahir ketika kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya, masa Daulah Abbasiyah. Ia lahir dalam salah satu keluarga Arab yang menyuling dan menjual air mawar, karena itu ia dijuluki al-Mawardi yang berasal dari kata maul wardi (air mawar).
Di masa kecil hingga remaja, al-Mawardi belajar di Basrah, kota kelahirannya. Ia belajar ilmu hukum dari Abul Qasim Abdul Wahid al-Saimari, ahli hukum madzhab Syafi’i. Kemudian, ia pindah ke Baghdad.
Di kota inilah anak penyuling dan penjual air mawar ini belajar Hadits, tata bahasa, kesusastraan, dan fiqh. Ia berguru kepada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali pakar Hadits di zamannya, Abi al-Gasim, hakim di Basrah saat itu, dan Abdullah al-Bafi. Ia pun melanjutkan studinya ke kampus “al-Zafami”. Di kota ini, al-Mawardi menajamkan disiplin ilmunya di bidang Hadits dan fiqih pada seorang guru yang bernama Abu Hamid Ahmad bin Tahir bin Al-Isfirayini.
Pemikiran Politik al-Mawardi
Sekilas, al-Mawardi memiliki kesamaan dengan Plato, Aristoteles, dan Ibnu Abi Rabi’ yang berpendapat manusia adalah makhluk sosial, yang saling bekerja sama dan membantu satu sama lain. Tapi yang membedakannya dengan tiga tokoh di atas adalah al-Mawardi memasukkan agama dalam teorinya.
Menurutnya, kelemahan manusia adalah tidak memiliki kemampuan memenuhi semua kebutuhannya. Ditambah dengan keanekaragaman dan perbedaan bakat, pembawaan, kecenderungan alami. Hal itu mendorong manusia untuk bersatu dan saling membantu.
Atas dasar inilah manusia mendirikan negara. Dengan demikian, adanya negara adalah melalui kontrak atau perjanjian atas dasar sukarela. Al-Mawardi kemudian berpendapat bahwa kepala negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian dalam memelihara agama dan mengatur dunia, sekaligus mensahkannya.
Tidak diragukan lagi, Imam Al-Mawardi merupakan tokoh ulama dan pemikir politik dalam dunia Islam. Pada masa hidupnya, al-Mawardi hidup dalam situasi politik di dunia Islam yang sama jeleknya dengan masa hidup al-Farabi, bahkan lebih kalut. Tetapi, pendekatan al-Mawardi tidak sama dengan al-Farabi.
Al-Farabi mengembangkan teori politik yang serba sempurna sebagai reaksi terhadap situasi politik pada saat itu. Dan karenanya tidak mungkin dapat dilaksanakan oleh dan untuk umat manusia yang bukan malaikat. Namun al-Mawardi tidak demikian halnya.
Ia mendasarkan teori politiknya pada kenyataan yang ada dan kemudian secara sadar menawarkan saran-saran perbaikan atau formasi. Misalnya, ia mempertahankan status quo. Ia menekankan bahwa khalifah harus tetap berbangsa Arab, dari suku Quraisy, dan begitu juga dengan pembantu khalifah lainnya.
Upaya Al-Mawardi mempertahankan etnis Quraisy ini, kalau dilihat dari situasi politik saat itu, dapat dikatakan hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya.
Lebih jauh lagi, al-Mawardi juga menunjukkan betapa aturan agama dan teori kekhalifahan Sunni yang telah diterima selama ini dapat ditafsir ulang dan dikembangkan. Ia meletakkan dasar-dasar intelektual bagi kebangkitan kembali Kekhalifahan Abbasiyah, yang menurutnya sangat memungkinkan menjadi lebih luas lagi.
Warisan Al-Mawardi
Al-Mawardi wafat pada 30 bulan Rabi’ul Awwal tahun 450 H atau 27 Mei 1058 M. Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Para pembesar dan ulama menghadiri pemakamannya.
Jenazah al-Mawardi dimakamkan di Bab Harb, Baghdad. Termasuk Al-Khatib Al-Baghdadi, ulama besar, murid, sekaligus pelanjut al-Mawardi, yang menjadi imam pada shalat jenazahnya. Al-Mawardi tidak meninggalkan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan, melainkan warisan pemikiran dan karya-karya yang sangat bermanfaat untuk generasi selanjutnya. Di antara beberapa karyanya dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok.
Pertama, Pengetahuan Agama yang meliputi kitab Tafsir (Al-Nukat wa al-’Uyun). Kitab ini menurut catatan sejarah belum pernah diterbitkan.
Naskah buku ini masih tersimpan pada perpustaaan College ‘Ali di Konstantinopel dan perpustakaan Kubaryali Rampur di India. Berikutnya Kitab Al-Hawi Al-Kabir. Kitab ini adalah sekumpulan pendapat hasil ijtihad al-Mawardi di bidang fikih.
Kitab ini disusun berdasarkan Mazhab syafi’i, memuat 4.000 halaman, dan disusun dalam 20 bagian. Masih dalam bidang ilmu pengetahuan agama adalah Kitab Al-Iqra’ (ringkasan dari kitab Al-Hawi Al-Kabir, ditulis dalam 40 halaman), Adab Al-Qadhi, Al-Iqna’, dan ‘Alam Al-Nubuwwah.
Kedua, Pengetahuan Politik dan Ketatanegaraan yang antara lain Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, Nasihat Al-Mulk, Tshil al-Nazar Wa Ta’jil Az-zafar, dan Qawanin al-Wizarah wa Siyasat al-Mulk. Kitab-kitab tersebut termasuk karya al-Mawardi yang sangat populer di dunia Islam. Naskah-naskah ini telah diterbitkan Dar Al-Usul di Mesir pada 1929. Kitab-kitab ini juga telah diterjemahkan ke bahasa Jerman, Perancis, dan Latin.
Ketiga, Pengetahuan Akhlak seperti kitab al-Nahwu, al-Ausat wa al-Hikam, dan al-Bughyah fi Adab al-Dunya wa al-Din. Para ulama menilai, Kitab Adab al-Dunya wa al-Din adalah kitab yang amat bermanfaat.
Buku ini pernah ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan di Mesir sebagai buku pegangan di Madrasah Tsanawiyah (SLTP) selama lebih dari 30 tahun. Selain di Mesir, buku ini diterbitkan pula beberapa kali di Eropa. Sementara itu, ulama Turki bernama Hawais Wafa Ibn Muhammad Ibn Hammad Ibn Halil Ibn Dawud al-Jurjany pernah mensyarah buku ini dan diterbitkan pada 1328.
https://www.suaramuhammadiyah.id/2016/01/29/al-mawardi-peletak-dasar-ilmu-politik-syaifullah/