Sabtu 11 Jul 2020 04:41 WIB

Selain Al Aqsa, Ini Bangunan Saksi Perjalanan Isra Mi'raj

Bangunan kubah untuk melindungi batu yang menjadi pijakan Nabi saat Isra Miraj.

Selain Al Aqsa, Ini Bangunan Saksi Perjalanan Isra Mi'raj. Foto: Pemandangan Dome of the Rock dan Masjid Al Aqsa di Yerusalem, Palestina, Jumat (23/4).
Foto: AP Photo/Sebastian Scheiner
Selain Al Aqsa, Ini Bangunan Saksi Perjalanan Isra Mi'raj. Foto: Pemandangan Dome of the Rock dan Masjid Al Aqsa di Yerusalem, Palestina, Jumat (23/4).

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Masjidil Aqsha adalah salah satu tempat suci umat Islam yang menjadi bagian dari kompleks bangunan suci di kawasan Baitul Maqdis, Kota Yerusalem Timur. Di depan bangunan masjid yang masih di kompleks Baitul Maqdis, terdapat bangunan kubah warna hijau yang dikenal sebagai Qubatush Sakhra atau Dome of Rock. Bangunan kubah ini untuk melindungi batu hitam Sakhrah Muqaddasah yang menjadi pijakan Rasulullah saat menuju Sidratul Muntaha.

Bila merunut dari kisah Isra Mikraj Rasulullah SAW, antara bangunan Masjidil Aqsha dan Sakhrah Muqaddasah ini menjadi bagian yang tak terpisahkan. Keduanya ibarat dua sekoli yang memegang peran penting dalam sejarah Islam, karena menjadi saksi sejarah perjalanan Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW.

Baca Juga

Nama Masjidil Aqsha, bila diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, memiliki makna masjid terjauh. Istilah ‘terjauh’ dalam pengertian ayat Alquran adalah sebagai yang terjauh dari Makkah.

Nama Al Aqsha itu sendiri, disebutkan dalam Alquran pada Surat Al Isra' ayat 1. Dalam ayat ini disebutkan bahwa Allah SWT telah memperjalankan Rasulullah SAW pada malam hari, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.

Berdasarkan nilai sejarah ini, Masjidil Aqsha menjadi tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjidil Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Apalagi, Masjidil Aqsha juga pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum datang perintah Allah kepada Rasulullah SAW untuk mengarahkan  kiblatnya ke Baitullah (Ka’bah) di Masjidil Haram.

Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan shalat menghadap ke Masjidil Aqsha, hal itu dimaksudkan agar umat Islam dalam shalatnya menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan. Ketika itu, kondisi Masjidil Haram masih belum berupa bangunan masjid. Sedangkan Ka’bah, masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam.

Selain itu, bila pada masa tersebut Rasulullah SAW melaksanakan shalat yang menghadap ke Masjidil Haram, hal itu akan membanggakan kaum kafir Quraisy. Kaum Quraisy akan menganggap bahwa Rasulullah juga menyembah berhala-berhala mereka yang ada di Ka’bah. Inilah salah satu hikmah shalat umat Islam pada masa awal, masih menghadap ke Baitul Maqdis atau Masjidil Aqsha.

Ketika Isra Mikraj terjadi, baik Masjidil Haram maupun Masjidil Aqsha, sebenarnya masih belum berupa bangunan masjid seperti yang ada pada bangunan masjid saat ini. Di Masjidil Haram hanya ada bangunan Ka’bah, sedangkan di Masjidil Aqsha hanya ada Qibatush Sakhra. Saat itu, Al Shakhra masih berupa batu di atas gundukan tanah (bukit Moria) yang dipenuhi debu.

Bila kemudian Alquran menyebut bangunan dalam kompleks Baitul Maqdis sebagai masjid, adalah karena Alquran berpegang pada satu pandangan bahwa seluruh tempat ibadah agama tauhid disebut dengan nama masjid.  Hal ini karena seluruh agama yang didakwahkan para nabi, pada awalnya adalah merupakan agama tauhid.

Meski demikian, menelisik sejarah dari keberadaan Masjidil Aqsha ini, tak bisa dilepaskan dari sejarah keberadaan Baitul Maqdis atau Al Haram As-Syarif. Ibn Al-Firkah, sejarawan berdarah Arab, dalam bukunya Baith Alnufus ila’Ziyarat Al-Quds Al Mahrus, menyebutkan Sam bin Nuh adalah pendiri Kuil Yerusalem yang dalam bahasa Arab disebut Baitul Maqdis atau Rumah Suci.

Upaya memelihara Baitul Maqdis ini kemudian dilanjutkan oleh nabi-nabi dari Bani Israil. Antara lain, oleh Nabi Ya'qub AS, Nabi Daud As yang menjadi raja di Yerusalem dan juga Nabi Sulaiman. Bahkan, Nabi Sulaiman menyempurnakan Baitul Maqdis dengan mendirikan Haekal (kuil) Sulaiman I atau Baitallah. Pada bagian kuil tersebut, diletakkan batu hitam bernama Sakhrah Muqaddasah.

Hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Dzar RA. Ia bertanya kepada Rasulullah Saw tentang masjid pertama yang dibangun di muka bumi, Rasul menjawab: ‘Masjid al-Haram.’ Abu Dzar kemudian bertanya lagi, ‘Selanjutnya masjid apa?’. Rasulullah menjawab, ‘Masjid Al-Aqsha’.  Abu Dzar kemudian bertanya, ‘Berapa lama jarak pembangunan keduanya?’ Rasulullah SAW berkata, ‘40 tahun. Lalu Allah menjadikan bumi ini bagi kalian sebagai masjid. Oleh karena itu, kapan pun waktu shalat, lakukanlah shalat di atasnya, karena dia memiliki keutamaan’.”

Meski demikian, pembangunan Masjidil Aqsha dalam bentuk yang seperti sekarang ini, sebenarnya dilakukan pada masa awal Kekhalifahan Bani Umayyah. Hal ini didasari pada kesaksian Arculf, seorang biarawan Galiam, yang berziarah ke Palestina pada 679-682 dan dikuatkan oleh tulisan dari ulama Yerusalem, Al-Mutahhar bin Tahir Al-Maqdisi.

Analisis atas panel dan balok kayu yang diambil dari bangunan masjid selama renovasi di tahun 1930-an, menunjukkan bahwa kayu-kayu dalam bangunan masjid berasal dari kayu cedar Libanon dan Cyprus. Penanggalan radiokarbon menunjukkan berbagai macam usia, beberapa di antaranya setua abad ke-9 SM, yang menunjukkan bahwa beberapa kayu tersebut sebelumnya telah digunakan pada bangunan-bangunan yang lebih tua.

Kompleks Baitul Maqdis saat ini berbentuk persegi dengan luas area di sekitarnya mencapai 144 ribu m2. Kawasan ini dapat menampung sampai dengan 400 ribu jamaah. Sedangkan bangunan Masjidil Aqsha berukuran 272 kaki (83 meter) dan lebar 184 kaki (56 meter). Dengan luas tersebut, bagian dalam Masjidil Aqsha dapat menampung sampai 5.000 jamaah.

Masjid ini memiliki empat menara di sisi selatan, utara, dan barat. Awalnya hanya ada dua menara di bangunan ini. Menara pertama dikenal sebagai Al-Fakhariyyah dan menara kedua dikenal dengan nama Al-Ghawanimah. Namun, gubernur Mamluk di Suriah, Tankiz, pada tahun 1329 memerintahkan pembangunan menara ketiga yang kemudian disebut menara Al-Silsilah, dan menara keempat yang disebut Al-Asbat.

Mengenai keutamaan masjid ini, Maimunah binti Sa’ad dalam hadis tentang berziarah ke Masjid Al-Aqsa menyebutkan: Ya Nabi Allah, berikan fatwa kepadaku tentang Baitul Maqdis”. Nabi berkata, Tempat dikumpulkannya dan disebarkannya (manusia). Maka datangilah ia dan shalat di dalamnya. Karena shalat di dalamnya seperti shalat seribu rakaat di selainnya.” Maimunah berkata lagi: Bagaimana jika aku tidak bisa?” Rasulullah menjawab, Maka berikanlah minyak untuk penerangannya. Barang siapa yang memberikannya maka seolah ia telah mendatanginya.”

Kepemilikan Masjid Al-Aqsa hingga kini masih merupakan salah satu isu dalam konflik Israel-Palestina. Israel mengklaim kekuasaan atas masjid tersebut dan juga seluruh Bukit Moria. Namun, Palestina memegang perwalian secara tak resmi melalui lembaga wakaf. Selama negosiasi di Pertemuan Camp David, Palestina meminta kepemilikan penuh masjid ini serta situs-situs suci Islam lainnya yang berada di Yerusalem Timur.

Namun, karena de facto kompleks Baitul Maqdis yang di dalamnya terdapat Masjidil Aqsha saat ini dikuasai Israel, izin masuk masjid hanya diberikan pada warga negara Israel yang Muslim. Pada waktu-waktu tertentu, Israel juga menetapkan pembatasan ketat akses masuk ke masjid bagi orang Yahudi, Muslim palestina yang tinggal di tepi barat atau jalur Gaza, atau pembatasan berdasarkan usia untuk warga Palestina dan warga negara Israel keturunan Arab.

Lebih dari itu, Isreal hanya memberi izin masuk untuk pria warga Palestina yang telah menikah dan setidaknya berusia 40 atau 50 tahun. Wanita Arab kadang-kadang juga dibatasi sehubungan dengan status perkawinan dan usia mereka. Alasan Israel memberlakukan pembatasan tersebut adalah karena pria Palestina yang berusia tua dan telah menikah cenderung ‘tidak menyebabkan masalah’. 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement