REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islam memiliki satu kata menarik dengan keluasan makna yang memotivasi hidup. Kata tersebut berakar dari Bahasa Arab, ‘abada-ya’budu-‘abdan, yang bermakna ‘menyembah’ atau juga ‘beribadah.’ Sebagai Muslim, tentunya ibadah sudah menjadi rutinitas keseharian, terulang setiap waktunya tiba.
Itu jika maksudnya adalah rutinitas yang terwakili dalan rukun Islam yang lima: syahadat, sholat, puasa, zakat, dan haji. Namun, apakah ibadah hanya rutinitas yang diulang-ulang saja?
Menjadi Muslim berarti menjadi manusia yang berpasrah dan mendedikasikan dirinya kepada Allah. Dedikasi seorang Muslim ditapaki dengan jalan ibadah.
Sesuai yang terbaca sehari-hari, iyyaka na’budu. Hanya yang perlu dimaklumi dan yakini bahwa dedikasi tidak cukup berhenti pada rutinitas rukun yang lima. Ini karena seorang Muslim adalah abdi.
Seorang hamba yang hidup bersyukur lantas menjadi pengabdi, ia akan mengabdikan dirinya di bawah pilar Islam, Iman, dan juga Ihsan. Tiga pilar yang tidak akan membuat si abdi berlepas diri Allah. Kaidahnya, ka-annaka tarahu (seakan engkau melihat-Nya) dan fa innahu yarâka (Ia yang melihatmu).
Seorang Prof Madya di Malaysia, Rahimin Affandi, sempat meresapi arti mengabdi itu dalam. Ini tidak lagi soal rutinitas ibadah di rukun yang lima.
Lebih dari itu ialah rutinitas hidup keseharian. Lebih tepatnya jika seorang pekerja itu pengabdi. Jika ia mengerjakan, maka ia mengabdi.
Sementara pekerjaannya menjadi ibadah. Seorang abdi tidak lagi fokus pada gaji yang didapatnya, namun pada ridla-Nya ia menambat. Maka tak salah jika memindah kata “saya bekerja” dengan “saya mengabdi.” Tentu bukan bermaksud mengabdi pada pekerjaannya, tapi karena bekerja masuk dalam beribadah itu sendiri.
Lihatlah ketika penggembala di kala Umar bin Khattab selaku Khalifah. Jika bukan karena menggembala itu mengabdi, sudahlah tentu ia melepas satu domba. Umar hanya berpura-pura sekadar menguji karakter abdinya.
Ia rayu penggembala, “juallah satu domba gembalaanmu, tuanmu tak akan tahu.” Apa jawabnya, “tuanku memang tidak tahu, tapi Allah-lah Sang Maha Tahu.” Atau lihat si penjual susu, ketika sang Ibu berkata kepada putrinya, “campur saja susu dengan air, Khalifah manalah tahu.” Umar yang blusukan, yang tidak sengaja mendengar menunggu jawaban anak gadis tersebut. Jawabannya luar biasa, “Ibu, Khalifah mungkin tak akan tahu, tapi Tuhannya Umar pastilah tahu.”
Si penggembala dan si penjual susu, mereka berdua adalah pekerja. Tapi apakah rutinitas pekerjaan yang biasanya.
Ternyata tidak, mereka tidak sekadar bekerja tapi mengabdi. Maka, apa pun profesinya, tautkan seluruh pekerjaan sebagai pengabdian. Selama pekerjaan tersebut adalah halal, di situlah lapangan pengabdian dapat dilakukan.
Seorang Muslim tentulah berkarakter pengabdi. Segala tindak-tanduknya adalah dalam rangka berserah bertawakal kepada Allah Swt.
Tatkala pengabdian merasuk dalam tiap detik satu pekerjaan, seseorang akan merasa nyaman dan senang. Tidak hanya insentif yang memang akan ia dapatkan, tapi juga karena ia menyuguhkan detik-detik yang dikerjakannya kepada dan karena Allah. Pengabdiannya pula yang akan mendorong seorang Muslim untuk keep on the right track. Ia tidak akan memanfaatkan kesanggupan dan kemampuannya bekerja untuk mencari ridla di luar Allah.
Maklumlah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibn Harb, selama 50 tahun mengabdi kepada Allah, manisnya ibadah tidak ia rasakan kecuali meninggalkan tiga hal: (1) meninggalkan ridla manusia sehingga dapat berkata benar; (2) menjauh dari perkumpulan orang-orang fasik sampai dapat melebur dengan orang-orang saleh; (3) dan menghiraukan manisnya dunia dan memusatkan diri pada manisnya akhirat.