REPUBLIKA.CO.ID,
Pertanyaan:
Assalamu ‘alaikum wr. wb.
Dalam surah Yunus ayat 44, “sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri/” Kurang lebih seperti itu terjemahan dari ayat yang saya maksud. Yang menjadi angan-angan saya, apakah ketika manusia dilahirkan dan dibesarkan di keluarga yang notabene adalah pemeluk agama non muslim, apakah berarti manusia tersebut termasuk orang yang mendzalimi dirinya sendiri, atau lebih-lebih dia adalah golongan orang kafir yang merugi, baik di dunia maupun di akhirat? Padahal saudara kita yang termasuk di atas, mereka tidak pernah meminta untuk dilahirkan di keluarga non muslim (alhamdulillah kita yang notabene lahir dan dibesarkan di keluarga yang meyakini Islam).
Apakah kejadian seperti di atas termasuk dalam golongan, maaf, termasuk “apakah Allah SWT, secara langsung ataupun tidak telah mengkafirkan hamba-Nya sendiri, meskipun juga munusia dibekali dengan akal dan fikiran supaya dapat membedakan?”
Apakah dengan hal yang saya tanyakan di atas saya termasuk dalam golongan orang yang murtad dan kafir? Demikian sedikit dari yang saya tanyakan, kurang lebih saya mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamu ‘alaikum wr. wb.
Bahrul Fuad (disidangkan pada Jum’at, 19 Jumadilawal 1440 H / 25 Januari 2019 M)
Jawaban:
Wa ‘alaikumus salam wr. wb.
Terima kasih atas kepercayaan saudara kepada kami, Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dalam menjawab pertanyaan yang saudara sampaikan.
Dari pemaparan saudara di atas, agaknya kami menangkap ada tiga persoalan pokok yang nantinya akan kami jelaskan, yaitu manusia yang terlahir dalam keadaan keluarga non muslim, apakah termasuk mendzalimi dirinya sendiri?
Jika ada yang lahir dalam keadaan keluarga non-Muslim, apakah Allah menjadikan kafir hamba-Nya sendiri? Dengan menanyakan hal tersebut, apakah sudah termasuk murtad atau kafir?
Sebelum membahas persoalan di atas, harus diketahui bahwasanya dalam memahami al-Qur’an, tidak bisa mengambil pemahaman tekstualisnya saja. Artinya, al-Qur’an tidak bisa dipahami secara maksimal hanya dengan membaca artinya saja, tetapi perlu merujuk kepada penafsiran para ulama sehingga akan didapati penjelasan-penjelasan yang detail, sehingga mampu menangkap maksud ayat secara komprehensif. Oleh karena itu, ketika akan membahas lebih jauh mengenai inti dari pertanyaan saudara, terlebih dulu kita merujuk dalil yang saudara jadikan sebagai akar pertanyaan, yaitu surah Yunus ayat 44. Allah swt berfirman,
إِنَّ اللهَ لاَ يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئاً وَلَـكِنَّ النَّاسَ أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ .
Sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun, tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri [QS. Yunus (10): 44].
Abdur Raḥmān as-Sa‘dῑ menyatakan, maksud dari “sesungguhnya Allah tidak menzalimi manusia sedikit pun” adalah, Allah tidak menambah kejelekan manusia, dan tidak mengurangi kebaikannya. Kemudian maksud dari “tetapi manusia itulah yang menzalimi dirinya sendiri”, bahwasanya kebenaran datang kepada mereka, akan tetapi mereka tidak menerimanya. Allah memberi hukuman dengan menutup hati mereka, serta mengunci pendengaran dan penglihatan mereka. (Abdur Raḥmān as-Sa‘dῑ, Tafsīr as-Sa‘dī, hlm. 365).
Sementara Rasyid Ridha menyebutkan sesungguhnya Allah dalam menciptakan manusia tidak mengurangi kualitas indra, akal dan seluruh kekuatan yang mengantarkan manusia memperoleh petunjuk berupa kebaikan dan kemanfaatan kepada kebahagiaan dunia. Artinya, Allah menciptakan seluruh manusia dengan penciptaan yang sempurna tanpa mengurangi kesempurnaan tersebut sedikit pun. (Rasyid Ridha, Tafsīr al-Manār, juz XI, hlm. 315).
Allah swt senantiasa memberikan petunjuk kepada kebaikan. Konteks ayat ini berbicara kepada orang-orang musyrik yang enggan menerima petunjuk dari Allah swt melalui Nabi-Nya, karena mereka tidak mau menerima kebenaran dan menyombongkan diri terhadap kebenaran. Hati mereka pada asalnya mengakui Allah dan mengakui petunjuk serta kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah saw. Hanya saja, mereka menyombongkan diri dari menerima kebenaran, sehingga mereka menzalimi diri mereka sendiri karena enggan menerima kebenaran. Padahal sudah tetap ketetapan dari Allah, bahwa seseorang yang tidak mengakui Allah sebagai Tuhannya dan tidak menerima kebenaran yang dibawa Rasulullah akan dimasukkan ke dalam neraka.
Seperti itulah beberapa penafsiran yang kami dapati mengenai surah Yunus ayat 44, yang intinya bahwa ayat tersebut berbicara pada golongan orang musyrik yang mengabaikan petunjuk dari Allah. Jadi, memang benar bahwa Allah tidak menzalimi seseorang pun. Bahkan Allah memberikan petunjuk, akan tetapi ada orang yang tidak mau menerimanya, maka ia berarti telah menzalimi dirinya sendiri.
Mengenai pertanyaan pertama, apakah jika seseorang terlahir dari keluarga non-Muslim termasuk menzalimi dirinya sendiri, menurut pendapat kami, surah Yunus ayat 44 tidak dalam koridor pembahasan ini, walau jika dilihat secara tekstual memang terdapat keterkaitan dengan pertanyaan itu. Namun, dalam bab yang lebih khusus, pertanyaan saudara dapat dimasukkan dalam masalah Qada dan Qadar.
Qada dan Qadar merupakan rukun iman ke-6 yang wajib kita imani. Secara bahasa Qada mempunyai beberapa makna. Di antaranya perintah, kehendak, pemberitahuan, penciptaan, ketetapan, kepastian dan juga bisa bermakna hukum. Menurut istilah, Qada ialah ketetapan atau ketentuan dari Allah swt sejak zaman azali tentang segala yang berkaitan dengan makhluk Allah swt sesuai dengan kehendak-Nya, meliputi baik dan buruk, hidup dan mati, dan seterusnya. Sedangkan Qadar menurut bahasa adalah takdir atau ketentuan. Qadar adalah perwujudan dari Qada. Qadar disebut juga dengan takdir Allah yang berlaku bagi semua makhluk-Nya yang hidup, baik yang telah terjadi, sedang terjadi, maupun akan atau belum terjadi.
Qada dan Qadar memiliki hubungan yang saling terikat dan tidak dapat dipisahkan, karena merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan karena Qada diibaratkan sebagai rencana, sedangkan Qadar sebagai perwujudan atau kenyataannya yang terjadi. Berkenaan dengan masalah ini, banyak terdapat firman Allah swt, antara lain,
وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ.
Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu [QS. al-Hijr [15]: 21].
وَكَانَ أَمْرُ اللهِ قَدَرًا مَقْدُورًا.
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran [QS. al-Ahzab [33]: 38].
وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَى
Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk [QS. al-A‘laa [87]: 3].
Oleh karena itu seseorang yang terlahir dalam rahim orang tua yang non-Muslim merupakan Qada Allah yang sudah ditentukan sejak zaman azali. Namun, Qadar Allah bisa saja menentukan seseorang tersebut beragama Muslim selama seseorang itu mampu mendengar dan menerima hidayah.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka kami berpendapat bahwa seseorang yang terlahir dari rahim seorang non-Muslim bukanlah termasuk orang yang menzalimi dirinya sendiri dalam konteks surah Yunus ayat 44.
Adapun mengenai pertanyaan kedua, bahwa seseorang yang terlahir dari rahim orang tua non-muslim, bukan berarti Allah menjadikan hamba-Nya kafir. Semua itu merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap seseorang untuk dilahirkan dari rahim seorang non-Muslim. Ada di antaranya yang tetap menganut agama orang tuanya, tetapi ada pula yang kemudian memilih berbeda dengan agama orang tua yang melahirkannya, sehingga ada yang kemudian beriman, dan ada yang kafir. Jika Allah berkehendak, bisa saja Allah menjadikan semua manusia beriman kepada-Nya. Sebagimana firman Allah,
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآَمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّى يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ.
Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? [QS. Yunus (10): 99].
Nabi saw juga telah memberi keterangan, bahwa pada dasarnya setiap anak yang lahir itu dalam keadaan fitrah, sebagaimana hadis berikut ini,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
Dari Abu Hurairah (diriwayatkan) Nabi saw bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah. Kemudian kedua orang tunyalah yang akan menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi…”. (HR. Al-Bukhari No. 1296)
Fitrah adalah kecondongan seseorang untuk mengetahui bahwa Allah adalah Tuhannya dan Islam adalah agamanya. Setelah anak itu lahir, ada anak yang beragama dengan agama yang dianut oleh orang tuanya dan ada pula anak yang berbeda agama dengan orang tuanya, tentunya setelah anak itu mampu berpikir dan mampu membedakan antara yang haq dan bathil. Semuanya tergantung pada peran orang tua sebagaimana hadis di atas.
Terlahir dari orang tua muslim atau terlahir dari orang tua non-muslim, hal tersebut merupakan ujian yang Allah berikan kepadanya. Sejatinya setiap insan itu mengakui adanya Allah dan mengakui bahwa Allah adalah Tuhan. Kemudian Allah menghapus ingatan tersebut sebagai sebuah cobaan yang akan ditanya kelak di hari pembalasan. Sebagaimana firman Allah,
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ.
Dan (ingatlah) ketika Tuhan-mu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku ini Tuhan-mu? Mereka menjawab, Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini [QS. al-A’raf (7): 172].
Sedangkan tentang pertanyaan yang ketiga, apakah saudara menjadi kafir atau murtad setelah menanyakan hal tersebut, maka menurut pendapat kami saudara bukan menjadi murtad atau kafir. Hal ini karena ketika menanyakan hal tersebut, sejatinya itu termasuk naluri manusia yang ingin tahu akan suatu hal. Murtad adalah seseorang yang menjadi kafir setelah memeluk Islam. Seseorang dikatakan murtad jika ia melakukan perbuatan, perkataan atau keyakinan yang dapat menghilangkan keyakinannya kepada Allah, seperti menyembah selain Allah, menjelek-jelekkan Allah, meyakini adanya sesembahan selain Allah dan lain sebagainya. Konsekuensi yang harus ditanggung seseorang yang telah murtad adalah sangat berat, seperti diterangkan dalam banyak ayat, al-Qur’an, salah satunya adalah,
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ.
“Barangsiapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya [QS. al-Baqarah (2): 217].
Dari penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut,
Seseorang yang lahir dari rahim orang tua non muslim merupakan ketentuan Allah, bukan menzalimi dirinya sendiri. Adapun yang dimaksud menzalimi dirinya sendiri dalam surah Yunus ayat 44 adalah seseorang yang telah datang kepadanya petunjuk atau kebenaran (Islam), akan tetapi ia menolaknya.
Setiap manusia pada dasarnya mengakui Allah sebagai Tuhannya ketika masih di dalam kandungan. Kemudian ketika terlahir, ada yang dari orang tua beragama Muslim, tetapi ada juga yang dari non Muslim. Orang yang lahir dari keluarga non Muslim ini merupakan cobaan yang diberikan Allah, apakah nantinya dia akan mampu untuk menemukan kebenaran ataukah tidak, yang kelak akan diminta kesaksian oleh Allah di akhirat.
Seseorang dikatakan murtad jika ia melakukan perbuatan, perkataan atau keyakinan yang dapat menghilangan keimanannya kepada Allah, seperti menyembah selain Allah, menjelek-jelekkan Allah, meyakini adanya sesembahan selain Allah dan lain sebagainya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Wallahu a’lam bissawab
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/06/29/permasalahan-seputar-surah-yunus-ayat-44/