Sabtu 27 Jun 2020 16:23 WIB

Seorang Muslim Dipecat karena Meminta Waktu untuk Sholat

Perusahaan tempatnya bekerja itu menolak permintaan karyawan untuk izin sholat

Rep: Mabruroh/ Red: Gita Amanda
Sholat (ilustrasi). Seorang pria dipecat dari pekerjaannya karena meminta izin sholat.
Foto: iqrac.blogspot.com
Sholat (ilustrasi). Seorang pria dipecat dari pekerjaannya karena meminta izin sholat.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- E'Lon Brown (37 tahun) dipecat dari perusahaan tempatnya bekerja. Brown diberhentikan lantaran izin meminta diberikan kesempatan untuk menunaikan waktu sholat fardlu dan sholat Jumat.

Brown bekerja untuk Automatic Distributor Corp dan SttlaffMax. Perusahaan tempatnya bekerja itu menolak permintaannya sehingga ia melalui pengacaranya mengajukan keluhan kepada Komisi Ketenagakerjaan A.S. Amerika Serikat dan Komisi Hak Sipil Indian atas tuduhan diskriminasi.

Baca Juga

 

Brown sudah bekerja selama satu minggu. Brown bekerja untuk Distributor Otomatis, yang berbasis di Bangor, Maine, tetapi memiliki lokasi di 5111 W. 76th St. Ia dipekerjakan melalui StaffMax, yang merupakan agen kepegawaian di Speedway.

Dalam surat keluhan tersebut, Brown merupakan seorang Muslim sehingga wajib hukumnya untuk menjalankan sholat fardlu lima waktu dan solat Jumaat berjamaah. Brown meminta diberikan keringanan waktu untuk melakukan sholat fardlu selama 5-10 menit, sedangkan untuk melaksanakan sholat Jumat, ia izin untuk diberikan waktu satu jam.

Brown bekerja sebagai pengepak di lokasi Indianapolis Distributor Otomatis pada 17 Desember 2019. Jarak perusahaanya dengan masjid hanya lima menit dan ia meminta akomodasi keagamaan melalui StaffMax untuk menjalankan kewajibannya itu sebagai Muslim.

Brown mengatakan kedua pengawasnya menerima permintaannya tetapi menolaknya. Ketika Brown menindaklanjuti kembali permintaannya pada minggu selanjutnya, salah satu pengawas mengatakan kepadanya bahwa mereka tidak dapat mengabulkan permintaan Brown.

Pengawas tersebut menyatakan, bahwa jika memberikan izin kepada Brown artinya mereka juga harus mengabulkan semua orang juga. "Mereka harus mengakomodasi semua orang, yang tidak bisa mereka lakukan," kata pengaduan.

Kemudian, pada 26 Desember, Brown mengaku menerima pesan teks dari StaffMax yang menyatakan memutuskan hubungan kerjanya. Seorang karyawan StaffMax kemudian mengkonfirmasi bahwa pekerjannya dihentikan karena kebutuhan keagamaannya itu.

Keluhan tersebut menuduh StaffMax dan Distributor Otomatis melanggar Judul VII Undang-Undang Hak Sipil 1964, yang melarang diskriminasi berdasarkan agama seseorang.

Pengacara Brown, Zanah Ghalawanji, yang bekerja untuk Dewan Dana Pertahanan Hukum Hubungan Amerika-Islam, mengatakan kepada IndyStar bahwa dia dan kliennya berharap perusahaan akan menerapkan kebijakan yang akan memungkinkan karyawan untuk meminta akomodasi keagamaan yang wajar.

"Undang-undang sudah mewajibkan perusahaan memberikan akomodasi yang wajar selama akomodasi itu tidak membebani perusahaan," ujar Ghalawanji dilansir Indystar pada Sabtu (27/6).

"Tidak ada alasan untuk tidak memberikannya. Brown sepenuhnya ditolak, dan Distributor Otomatis mengatakan bahwa mereka tidak akan mengakomodasi siapa pun di perusahaan," lanjut Ghalawanji.

Menanggapi keluhan tersebut, StaffMax mengaku belum mendapatkan salinan keluhan dan perusahaan membantah tuduhan diskriminasi tersebut.

"Kami sangat mendukung semua undang-undang ketenagakerjaan, federal, dan negara bagian," kata Martin Cain, salah satu pemilik StaffMax.

"Ini adalah dugaan diskriminasi agama kepada kami yang pertama kali," ujarnya.

Menurutnya, seharusnya sebelum memulai bekerja hal-hal seperti itu harus lebih dulu dibicarakan.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement