REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umumnya menjatuhkan talak kepada seorang istri berasal dari suaminya. Namun, para ulama madzhab juga menyiapkan argumentasi tersendiri dalam menyikapi munculnya suatu kondisi atau peristiwa tentang boleh tidaknya seorang hakim menjatuhi takal kepada istri orang lain secara paksa.
Dalam buku Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah dijelaskan, para ulama madzhab memang berbeda pendapat mengenai hal tersebut. Imam Abu Hanifah mengatakan, hakim tidak memiliki hak menjatuhkan talak kepada seorang wanita apa pun alasannya.
Kecuali bila suami wanita tersebut impoten, alat kemaluannya terputus, pecah, hingga hilang buah zakarnya. Adapun tidak memberi nafkah, hilang tak tentu kabar beritanya, dihukum seumur hidup, dan lainnya, maka hakim tidak boleh menjatuhkan talak terhadap seorang wanita karena hal-hal itu tanpa izin suaminya. Sebab talak adalah hal pengendali (suami).
Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbali memperbolehkan seorang wanita menuntut talak dari hakim karena adanya sebab-sebab yang diperbolehkan. Antara lain tidak diberi nafkah, istri merasa terancam baik berupa ucapan atau perbuatan dari suami, terancamnya kehidupan istri karena suami tidak berada di tempat meskipun si suami meninggalkan nafkah yang cukup selama masa ketidakhadirannya, hingga terancamnya istri akibat suami berada di dalam penjara.
Pada alasan pertama, ketiga ulama madzhab tersebut bersepakat apabila seorang suami terbukti tidak mampu memberikan nafkah pokok kepada istrinya, maka istrinya itu boleh mengajukan tuntutan cerai. Tetapi apabila ketidakmampuan itu tidak terbukti dan si suami tidak mau memberi nafkah, maka Imam Syafi’i mengatakan suami-istri itu tidak boleh diceraikan.
Sedangkan Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat, suami istri itu dapat diceraikan lantaran tidak adanya nafkah bagi istri disamakan dengan ketidakmampuan suami dalam memberi nafkah.
Dalam poin kedua, dalam Al-Ahwal As-Syakhshiyyah, Abu Zahrah berpendapat apabila seorang istri mengaku diancam oleh suaminya yang menyebabkan ia tidak bisa mempertahankan kehidupan rumah tangga seperti itu, jika pengakuan itu benar dan terbukti, sementara hakim tidak mampu mendamaikan keduanya, maka dia boleh menjatuhkan talak kepada wanita tersebut dengan talak ba’in.
Di Mahkamah Sariah Sunni Lebanon misalnya, hakim dapat menceraikan suami-istri manakala terbukti adanya persengketaan, dan dua orang hakim menyatakan perlunya hubungan suami istri tersebut diceraikan. Tentu saja, hukum seperti ini belum tentu diperlakukan sama di Indonesia.
Dalam poin ketiga, Imam Ahmad berpendapat jarak minimal sang istri boleh mengajukan gugatan cerai adalah enam bulan sejak kepergian suaminya, sedangkan Imam Maliki berpendapat yakni selama tiga tahun. Betapa pun, hakim tidak berhak menceraikan mereka kecuali bila sang suami menolak pulang atau mengajak istrinya ke tempat dia berada.
Dalam poin keempat, ulama dari kalangan Madzhab Hanafi berpendapat istri berhak mengajukan gugatan cerai karena adanya ancaman terhadap kehidupannya sesudah satu tahun suaminya dipenjarakan. Dan hakimlah yang akan menjatuhkan talaknya.
Sedangkan dalam Mulhaqat al-Urwah, Sayyid Kazhum mengatakan tidak ada salahnya memperbolehkan hakim menjatuhkan talak terhadap istri yang suaminya dipenjarakan di suatu tempat yang tidak bisa diharap lagi kembali. Demikian pula halnya dengan suami yang tinggal bersama-sama istri tapi berada dalam keadaan miskin dan tidak bisa memberi nafkah. Sedangkan istrinya tidak tahan dalam kondisi serupa itu.
Dalam kitab Al-Masalik disebutkan, seorang istri berhak keluar dari perkawinannya karena kesulitan nafkah akibat suaminya berada di dalam penjara dalam jangka waktu tertentu (lama). Terdapat pula riwayat dari ahlul-bait yang antara lain mengatakan: “Barangsiapa yang mempunyai istri, tetapi tidak memberinya pakaian yang bisa menutupi auratnya dan memberinya makan yang bisa menegakkan tulang punggungnya, maka Imam berhak menceraikan mereka berdua."