REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Nikah merupakan amalan sunnah yang disyariatkan dalam Islam dan mempunyai banyak keutamaan.
Terdapat banyak dalil landasan anjuran menikah antara lain firman Allah SWT QS An-Nisaa ayat tiga: فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ
“Nikahilah wanita-wanita (lainnya)yang kalian senangi, dua, tiga atau empat.”
Syekh Kamil Muhammad Uwaidah dalam kitabnya Fiqih Wanita menyampaikan, meski nikah merupakan bagian dari syariat, namun Allah dan Rasulnya melarang pernikahan dalam lima kondisi. Di antaranya nikah syighar, nikah mut'ah, nikah dengan wanita belum idah, nikah muhallil, nikah dengan yang menjalankan ihram.
1. Nikah syighar
Syekh Kamil menjelaskan nikah syighar yaitu, seseorang menikahkan anak perempuannya dengan syarat orang yang menikahi anaknya itu juga menikahkan Putri yang ia miliki dengannya. Baik itu dengan memberikan mas kawin bagi keduanya maupun salah satu darinya saja atau tidak memberikan mas kawin sama sekali."Semuanya itu tidak dibenarkan menurut syariat Islam," katanya.
Dalam pernikahan semacam ini, kata Syekh Kamil, tidak ada kewajiban atas nafkah, warisan dan juga mas kawin. Tidak berlaku pula segala macam bentuk hukum yang berlaku pada kehidupan suami-istri pada umumnya.
Syekh Kamil menambahkan, jika seseorang mengetahui akan adanya larangan pernikahan syighar namun Ia tetap melaksanakannya, maka harus diberlakukan baginya "had" atau hukuman secara penuh dan anak yang dilahirkan dari pernikahan semacam ini tidak diserahkan kepadanya.
Akan tetapi, jika tidak mengetahuinya, maka tidak ada baginya dan anak yang telah dilahirkan tetap berada di pihaknya.
Demikian juga dengan wanita yang dinikahinya, jika ia mengetahui larangan tersebut maka ia harus mendapatkan hukuman dalam kurung dan jika tidak mengetahuinya maka tidak ada hukuman apapun baginya.
Larangan nikah Syighar ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA berikut.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، قَالَ : " نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الشِّغَارِ ، وَالشِّغَارُ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ : زَوِّجْنِي ابْنَتَكَ وَأُزَوِّجُكَ ابْنَتِي ، أَوْ زَوِّجْنِي أُخْتَكَ وَأُزَوِّجُكَ أُخْتِي
Rasulullah SAW melarang pelaksanaan nikah syighar. "Nikah syighar itu adalah seorang laki-laki mengatakan kepada laki-laki lain: nikahkan aku dengan putraimu maka aku akan menikahkan kamu dengan putriku. Atau nikahkan aku dengan saudara perempuanmu maka aku akan menikahkan kamu dengan saudara perempuanku.” (HR Muslim).
Namun kata Syekh Kamil para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Imam Malik mengatakan, pernikahan semacam ini sama sekali tidak diperbolehkan di dalam syariat Islam. Itu artinya tidak sah baik sudah berhubungan badan maupun belum.
Demikian juga jika seseorang mengatakan ‘Aku nikahkan kamu dengan putriku, akan tetapi kamu harus meningkatkan aku dengan putrimu, dengan mas kawin 100 Dinar maka tidak ada kebaikan sama sekali dalam hal itu.’
Sementara menurut Ibnu qasim, pernikahan seperti itu tetap sah jika telah berhubungan badan. sedangkan Imam Syafi'i mengatakan, nikah ini menjadi batal jika mahar tidak disebutkan di dalamnya.
Jika mahar disebutkan di dalamnya, baik itu dari kedua belah pihak maupun salah satu dari keduanya, maka ditetapkan sebagai pernikahan bersama dan mahar yang disebutkan menjadi batal.
"Untuk itu bagi masing-masing dari keduanya harus membayar mahar dalam jumlah yang sama jika meninggal dunia atau berhubungan badan dengannya atau setengah dari mahar jika menceraikannya sebelum berhubungan badan." kata Imam Syafi'i.
2. Nikah mut'ah
Ibnu Hazm mengatakan, nikah Mut'ah adalah nikah dengan batasan waktu tertentu dan hal ini dilarang dalam Islam. Nikah mut'ah ini pernah diperbolehkan pada masa Rasulullah dan kemudian Allah menghapuskannya melalui lisan Rasul-nya untuk selamanya sampai hari kiamat kelak.
Dari Ali bin Abi Thalib RA berkata, "Rasulullah SAW melarang nikah Mut'ah dan juga daging keledai peliharaan pada masa perang khabir."
Dari Ibnu Abbas RA, ia mengatakan sebenarnya nikah mut'ah itu ada hanya pada awal masa Islam. ada seseorang mendatangi suatu negeri yang asing baginya. Lalu ia menikahi seorang wanita penduduk asli Negeri tersebut dengan perkiraan bahwa ia akan tinggal di sana dan wanita yang ia nikahi bisa menjaga serta mengatur barang-barang dagangannya.
Sehingga turun firman Allah yang artinya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki, Ibnu Abbas melanjutkan, semua kemaluan selain dua kemaluan tersebut, maka hukumnya adalah haram. (HR Ath-Thabrani).
3. Menikahi wanita sedang iddah
Baik karena perceraian maupun karena kematian suaminya. Syekh Kamil mengatakan, jika menikahinya sebelum masa iddahnya selesai, maka nikahnya dianggap batal, baik sudah berhubungan badan maupun belum atau sudah berjalan lama maupunu pun belum. Di samping itu, tidak ada warisan di antara keduanya dan tidak ada kewajiban memberikan nafkah serta mahar bagiku wanita tersebut darinya.
"Jika salah satu dari keduanya telah mengetahui akan adanya larangan nikah tersebut, maka diberlakukan kepadanya had atau hukuman atas orang yang berzina, yaitu rajam," katanya.
4. Nikah Muhallil
Yaitu wanita Muslim yang sudah ditalak tiga kali oleh suaminya dan suami diharamkan untuk kembali lagi kepadanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah surat Al Baqarah ayat 230: فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ۗ
"Jika suami telah menthalaknya (sesudah dijatuhkan talak yang kedua), maka perempuan itu tidaklah lagi halal baginya, hingga ia menikahi laki-laki lain."
Syekh Kamil menegaskan, apabila sang suami menyuruh orang lain untuk menikahi istri yang sudah dithalak tiga kali, dengan maksud suami pertama dapat menikahi wanita itu kembali, maka pernikahan seperti ini sama sekali tidak dibenarkan. Hal ini didasarkan pada riwayat Ibnu Mas'ud: Rasulullah melaknat muhallil dan muhallal lahu (HR. Abu Dawud Ibnu Majah dan Tirmidzi)
5. Nikahnya orang ihram
Yaitu apabila seorang melaksanakan pernikahan ketika ia sedang menunaikan ibadah Islam baik dalam Haji maupun umrah melakukan tahallul maka pernikahan semacam ini dianggap batal.
Jika ingin menikah maka hendaklah ia melakukannya setelah menyelesaikan ibadah haji atau umrohnya. Sebagaimana disabdakan Rasulullah SAW:
((لا يَنكِحِ المُحْرِمُ، ولا يُنكِحْ، ولا يَخْطُبْ))
"Seorang yang sedang berihram tidak boleh menikah dan tidak boleh dinikahkan dan tidak boleh meminang." (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan At-Tirmidzi). Dengan pengertian lain apabila dilakukan maka pernikahan tersebut tidak sah.