Senin 15 Jun 2020 05:57 WIB

Menepuk Punggung Makmum untuk Membuat Shaf Baru

Menyempurnakan shaf termasuk penyempurna shalat.

Menepuk Punggung Makmum untuk Membuat Shaf Baru. Sejumlah umat Islam menunaikan sholat Jumat berjamaah dengan menerapkan jaga jarak di Masjid At-Tin, Jakarta.
Foto: Prayogi/Republika
Menepuk Punggung Makmum untuk Membuat Shaf Baru. Sejumlah umat Islam menunaikan sholat Jumat berjamaah dengan menerapkan jaga jarak di Masjid At-Tin, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, 

Pertanyaan:

Baca Juga

Assalamu ‘alaikum wr.wb.

Saya anggota di PCM Air Joman. Saya mau tanya, dalam shalat berjamaah jika shaf depan sudah penuh, adakah dalil (tuntunan) yang mengharuskan atau membolehkan kita menepuk punggung makmum yang di depan untuk mundur membuat shaf baru dengan kita?

Wassalamu ‘alaikum wr.wb.

Hidayat (disidangkan pada Jum’at, 4 Muharram 1440 H / 14 September 2018 M)

Jawaban:

Wa ‘alaikumus salam wr.wb.

Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Semoga apa yang kami paparkan dapat menjawab pertanyaan saudara.

Jika membaca kitab-kitab hadis, maka akan ditemukan banyak sekali hadis yang menunjukkan keutamaan shalat berjamaah di masjid. Hal ini tentu mendorong masyarakat muslim untuk berlomba-lomba menunaikan shalat wajib secara berjamaah. Selain itu dalam shalat jamaah Rasulullah juga memerintahkan para makmum untuk merapatkan dan meluruskan shaf.

Shaf adalah barisan kaum muslimin dalam shalat berjamaah. Oleh karena itu, secara bahasa, jika hanya ada satu orang saja tidak bisa disebut shaf. Namun pada kenyataannya tidak selalu seseorang itu bisa masuk dalam sebuah shaf ketika shalat berjamaah. Misalnya seperti pertanyaan yang saudara sampaikan, bahwa ketika seseorang terlambat datang ke masjid dan ia mendapati shaf sudah penuh, maka apakah ia harus berdiri sendiri di belakang shaf atau menarik satu orang dari shaf di depannya untuk menemaninya membuat shaf di belakang?

Terdapat sabda Rasulullah saw yang menyatakan ketidaksempurnaan shalat seseorang di belakang shaf sendirian dalam shalat jamaah,

عَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ الْجُهَّنِي أَنَّ رَسُولَ اللهِ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةِ [رواه أحمد و أبو داود والترمذي و حسنه و صححه ابن حبان].

Dari Wabishah ibnu Ma’bad al-Juhani ra (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw pernah melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian. Lalu beliau menyuruhnya agar mengulangi shalatnya [HR. Ahmad (39/90: 18485), Abu Dawud  (2/430: 682) dan at-Tirmizi (1/401: 230), dishahihkan oleh Ibnu Hibban (5/576: 2199)].

Imam al-Hakim mengatakan bahwa sanad hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh syaikhan karena terjadi kecacatan sanad. Selain itu, menurut al-Bazzar, Amr bin Rasyid tidak dikenal sebagai rawi yang adil dan ia menilai bahwa Hilal tidak mendengar hadis langsung dari Wabishah, maka hadis tersebut dinilai terdapat kemursalan sehingga tidak dapat dijadikan hujjah (Umdatu al-Qari Syarhu Shahih al-Bukhari, 9/ 242).

Hadis Nabi saw,

عَنْ عَلِيِّ بْنِ شَيْبَانَ وَكَانَ مِنْ الْوَفْدِ قَالَ خَرَجْنَا حَتَّى قَدِمْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَبَايَعْنَاهُ وَصَلَّيْنَا خَلْفَهُ ثُمَّ صَلَّيْنَا وَرَاءَهُ صَلَاةً أُخْرَى فَقَضَى الصَّلَاةَ فَرَأَى رَجُلًا فَرْدًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ قَالَ فَوَقَفَ عَلَيْهِ نَبِيُّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ انْصَرَفَ قَالَ اسْتَقْبِلْ صَلَاتَكَ لَا صَلَاةَ لِلَّذِي خَلْفَ الصَّفِّ [رواه ابن ماجه و صححه].

Dari Ali bin Syaiban -ia adalah seorang utusan- (diriwayatkan) ia berkata, kami berangkat hingga akhirnya sampai di hadapan Nabi saw, kemudian kami berbaiat dan shalat di belakang beliau. Setelah itu kami mengerjakan shalat yang lain di belakang beliau, dan selesai shalat beliau melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf. Ali bin Syaibah berkata, Nabi saw berhenti di sisi orang itu ketika berlalu pergi. Beliau bersabda, “Ulangilah shalatmu, sebab tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf” [HR. Ibnu Majah no. 993].

Hadis tersebut dikomentari oleh al-Bazzar bahwa dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama Abdullah bin Badar yang dinilai sebagai majhul. Setelah diteliti ternyata kemajhulannya tidak dapat ditolerir karena tidak memenuhi syarat berupa ada dua perawi tsiqah masyhur atau lebih yang meriwayatkan dari dia. Oleh sebab itu hadis di atas tidak dapat diterima sebagai hujjah.

Adapun pertanyaan, bagaimana jika seseorang datang ke masjid dan ia mendapati shaf telah terisi penuh? Rasulullah saw pernah bersabda yang membolehkan menarik makmum dari shaf depan untuk menemani di shaf belakang sebagai berikut,

عَنِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِذَا انْتَهَى أَحَدُكُمْ إِِلَى الصَّفِّ وَقَدْ تَمَّ فَلْيجْذبْ إِلَيْهِ رَجُلًا يقِيمه إِلَى جَنْبِهِ [رواه الطبراني فى الأوسط].

Dari Ibnu Abbas r.a. (diriwayatkan) bahwa Rasulullah saw bersabda, “Apabila salah seorang terhenti untuk masuk shaf (depan) karena telah penuh, maka hendaklah menarik seorang pada shaf tersebut (ke belakang) untuk berdiri di sampingnya” [HR. ath-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Awsath, 7/374: 7764].

Hadis di atas hanya memiliki satu jalur saja dan tidak memiliki jalur lain. Selain itu, dalam sanad hadis tersebut terdapat perawi yang bernama Bisyr bin Ibrahim yang dinilai oleh al-Haisami sangat lemah (Majma’ az-Zawaid, 2/114: 2537) sehingga kedudukan hadis tersebut lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum (hujjah).

Terdapat pula dalam riwayat lain,

عَنْ مُقَاتِلِ بْنِ حَيَّانَ رَفَعَهُ قَالَ قَالَ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إِنْ جَاءَ رَجُلٌ فَلَمْ يَجِدْ أَحَدًا فَلْيَخْتَلِجْ إِلَيْهِ رَجُلاً مِنَ الصَّفِّ فَلْيَقُمْ مَعَهُ فَمَا أَعْظَمَ أَجْرَ الْمُخْتَلِجِ [رواه أبو داود في المراسيل].

Dari Muqatil bin Hayyan (diriwayatkan) ia berkata, Nabi Muhammad saw bersabda, “Jika salah seorang datang kemudian ia tidak mendapatkan seseorang (untuk membuat shaf) maka hendaklah ia menarik seseorang dari shaf (depan) dan hendaklah ia membuat shaf dengannya, sungguh betapa besarnya pahala orang yang menarik” [HR. Abu Dawud dalam kitab al-Marasil li Abi Dawud, 1/78: 83].

Imam al-Baihaqi menilai hadis tersebut munqathi’ (terputus) tanpa menyebutkan alasan keterputusannya (Sunan al-Baihaqi, 2/453: 5417), sehingga hadis di atas juga tidak bisa dijadikan hujjah.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa dalil-dalil yang menunjukkan adanya kebolehan menarik makmum dari shaf depan untuk menemani di shaf belakang di atas tidak dapat dijadikan hujjah, sehingga hal itu tidak dapat dipraktikkan. Di samping itu, menarik makmum dari shaf depan ke belakang berarti menyebabkan kekosongan di shaf depan, padahal dalam shalat jamaah diperintahkan untuk menyempurnakan dan mengisi shaf depan terlebih dahulu.

Hal itu juga menimbulkan gangguan bagi makmum di shaf depan karena harus mengisi shaf yang kosong sehingga terjadi banyak gerakan yang dapat mengganggu kekhusyukan. Adapun orang yang berdiri sendiri di belakang shaf, sedangkan masih ada saff yang kosong di depannya maka hal itu menjadikan shalat tidak sempurna karena Rasulullah menyebutkan bahwa menyempurnakan shaf termasuk penyempurna shalat. Hal ini juga berdasarkan hadis tentang Abu Bakrah.

Dengan demikian, dapat disimpulkan dalil yang memerintahkan atau membolehkan kita menarik makmum di shaf depan untuk mundur membuat shaf baru di belakang dengan kita memang ada, namun tidak termasuk hadis shahih ataupun hasan, sehingga tidak termasuk as-Sunnah al-Maqbulah. Oleh karena itu, hendaknya bagi orang yang datang terlambat dan ia dapati shaf depan telah penuh tidak perlu menarik makmum dari shaf depan untuk membuat shaf baru dengannya. Cukup baginya berdiri sendiri di belakang shaf tersebut.

Wallahu a‘lam bish-shawab.

Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/06/13/menepuk-punggung-makmum-untuk-membuat-shaf-baru/

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement