REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Berbagai cara dilakukan pasangan suami istri guna mendapatkan keturunan. Dunia medis memberikan alternatif salah satunya adalah dengan metode bayi tabung.
Persoalan bayi tabung, jika dipandang dari hukum Islam, maka harus dikaji dengan metode ijtihad yang biasa diterapkan para ahli ijtihad. Metode ini dilakukan agar hukum ijtihadi-nya sesuai dengan prinsip-prinsip Alquran dan sunnah.
“Bayi tabung/ inseminasi buatan dibenarkan jika dilakukan dengan sperma dan ovum suami dan istri sendiri, tidak ditransfer embrio-nya ke dalam rahim wanita lain,” tulis Prof Drs Masjfuk Zuhdi dalam bukunya, Masail Fiqhiyah, bab ‘bayi tabung/ inseminasi buatan menurut hukum Islam’ yang dikutip Republika.co.id, Kamis (11/6).
Adapun cara yang diperbolehkan adalah dengan mengambil sperma sang suami dan menyuntikkannya ke dalam vagina atau uterus istri. Pembuahan yang dilakukan di liar rahim lalu ditanamkan ke dalam rahim sang istri juga diperbolehkan.
“Cara ini dibolehkan asalkan kondisi pasangan yang bersangkutan benar benar memerlukan cara inseminasi buatan untuk mendapatkan keturunan,” jelasnya.
Hal ini sesuai dengan kaidah hukum fiqih Islam yang berbunyi, ‘hajat (kebutuhan yang sangat penting itu) dilakukan dalam keadaan terpaksa. Dan keadaan terpaksa (darurat) itu memperbolehkan melakukan hal-hal yang sejatinya terlarang.’ “Sebaliknya, jika inseminasi buatan dilakukan dengan bantuan donor sperma atau ovum, maka hukumnya haram, dan sama hukumnya dengan berzina,” ujar Masjfuk Zuhdi.
“Sebagai akibatnya, anak hasil inseminasi tersebut nasabnya hanya berhubungan dengan ibu yanh melahirkannya,” sambungnya.
Dalam hadits sahih riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi, Rasulullah SAW bersabda: لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ والْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
“Tidak halal bagi seseornag yang beriman pada Allah SWT dan hari akhir, menyiramkan airnya (sperma) pada tanaman orang lain (vagina istri orang lain).”