REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Agama Islam menganjurkan agar umatnya tidak mengambil keputusan di saat marah. Dahulukan adil pada diri sendiri sebelum mengadili orang lain.
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat dalam buku Ungkapan Hikmah mengatakan, mengadili orang lain merupakan tindakan memberi kepastian hukum atas persoalan yang terjadi pada seseorang. Sedangkan kepastian hukum itu bisa bernilai benar atau salah.
Setiap putusan dalam persoalan yang menimpa orang lain selalu membawa implikasi dan konsekuensi. Terkadang konsekuensi itu akan dirasakan dalam waktu yang lama bahkan terkadang hingga seumur hidup.
Itulah mengapa dalam bidang peradilan, seseorang dituntut kelapangan hatinya ketika hendak mengambil keputusan. Jangan mengambil keputusan saat diri sendiri belum mampu adil dalam mengolah emosi.
Dalam kitab Al-Arbain An-Nawawiyah karya Imam Nawawi, disebutkan sebuah hadis sahih yang diriwayatkan Imam Bukhari. Hadis tersebut berbunyi:
عن أَبي هريرة أَنَّ رَجُلًا قَالَ للنَّبِيِّ ﷺ: أَوْصِني، قَالَ: لا تَغْضَبْ، فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ: لا تَغْضَبْ
“An Abi Hurairata RA anna rajulan qala an-Nabi SAW awshini qala la taghdhab faradada miraran qala la taghdhab.”
Yang artinya: “Dari Abu Hurairah berkata: seorang lelaki berkata kepada Nabi SAW: berilah aku wasiat. Beliau pun menjawab: janganlah engkau marah. Lelaki itu mengulang permintaannya, tapi Rasulullah SAW kembali menjawab: janganlah engkau marah.”
Dalam hadis riwayat Imam Bukhari lainnya, Rasulullah juga bersabda:
لا يَقْضِيَنَّ حَكَمٌ بيْنَ اثْنَيْنِ وهو غَضْبَانُ “La yaqdhiyanna hakamun baina istnaini wa huwa ghadbanun.” Yang artinya: “Seorang hakim dilarang memutuskan (perkara putusan) antara dua orang ketika marah.”