Jumat 05 Jun 2020 17:13 WIB

Berlindung dari Doa tak Didengar

Allah mengabulkan permo­honan orang yang berdoa.

Berlindung dari Doa tak Didengar. Ilustrasi
Foto: Wihdan Hidayat/ Republika
Berlindung dari Doa tak Didengar. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Fakhrudin*

JAKARTA -- Judul artikel ini meru­pakan bagian dari doa mo­hon perlindungan dari em­pat perkara, yakni (1) ilmu yang tidak berman­faat, (2) hati yang tidak pernah khu­syuk, (3) nafsu yang tidak pernah puas, dan (4) doa yang tidak didengar. Lafal doa itu selengkapnya adalah,

Baca Juga

اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ ، وَمِنْ عَذَابِ القَبْرِ ، وَمِنْ فِتْنَةِ المَحْيَا وَالْمَمَاتِ ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ المَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Ya, Allah. Sesung­guh­nya, aku berlindung kepada-Mu dari empat per­kara, yaitu dari ilmu yang tidak bermanfaat; dan dari hati yang tidak khusyuk; dan dari nafsu yang tidak pernah puas, dan dari doa yang tidak didengar. (HR Abu Dawud)

Penggunaan kata didengar dalam terjemahan hadis tersebut perlu menda­pat perhatian secara khu­sus. Di dalam bahasa Indo­nesia ada kata mende­ngar (hear dalam bahasa Ing­gris) dan mendengarkan (listen dalam bahasa Ing­gris). Kata mendengar ber­beda dari mendengarkan.

Mendengar melakukan tindakan dengan te­linga terhadap suara dan/atau bu­nyi secara tidak sengaja atau sam­bil lalu. Mendengarkan dilakukan dengan sengaja dan intensif. Peng­gunaan kedua kata itu tentu berbeda.

Ketika ada bayi me­nangis, kita mendengar, tidak mungkin mendengarkan. Namun, ketika ada tausiyah, kita mendengarkan. Dari aspek hasil yang diperoleh, tindakan mendengarkan insya Allah lebih lengkap isinya dan lebih dapat dijamin kebenarannya.

Di samping ada bentuk mendengar dan mendengarkan, di dalam bahasa Indonesia ada pula bentuk didengar dan didengarkan. Tausiyah yang ha­nya didengar, boleh jadi “masuk telinga kanan, dan keluar lagi le­wat telinga kanan juga.” Berbeda halnya jika tausiyah itu didengarkan. 

Jika tausiyah didengarkan, insya Allah orang yang mendengarkannya mengetahui isi dan cara menyam­paikan tausiyah itu. Dari orang yang mendengarkan dapat diha­rapkan bahwa isi tausiyah itu diamalkan.

Mari kita renungkan: betapa sedihnya jika doa kita oleh Allah didengar pun tidak! Dalam kon­teks ini doa yang tidak didengar berari tidak dikabulkan. Adakah doa kita yang tidak didengar? Apa yang menyebabkan doa tidak didengar?

Allah berfirman dalam surat al-Baqarah (2): 186

وَاِذَا سَاَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَاِنِّيْ قَرِيْبٌ ۗ اُجِيْبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِۙ فَلْيَسْتَجِيْبُوْا لِيْ وَلْيُؤْمِنُوْا بِيْ لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُوْنَ 

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, (jawablah) bah­wa­sanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permo­honan orang yang berdoa. Apabila ia memohon kepada-Ku, hendaklah mereka itu me­menuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka ber­iman kepada-Ku agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

Dari ayat tersebut diketahui bahwa syarat yang harus dipenuhi agar doa kita dikabulkan adalah (1) meme­nuhi segala perintah Allah dan (2) beriman kepada Allah. Pe­rintah Allah sangat banyak. Satu di antaranya adalah pe­rin­tah makan yang halal dan baik sebagaimana difirman­kan-Nya dalam surat an-Nahl (16): 114,

فَكُلُوْا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللّٰهُ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّاشْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

“Maka, makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan oleh Allah kepada­mu dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepa­da-Nya saja menyembah.”

Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ

“Sesungguhnya, orang yang melemparkan sesuap barang haram di dalam pe­rutnya, Allah tidak akan me­nerima doa darinya empat puluh hari.”

Dalam riwayat lain dijelaskan juga

اِنَّ الرَّجُلَ لِيَقْذِفُ اّلُلقْمَةَ الْحَرَامَ فِي جَوْفِهِ مَا يَتَقَبَّلَ مِنْهُ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا

“ … kemudian beliau (Nabi) menuturkan seorang lelaki yang memanjangkan perja­lanannya, kusut rambutnya, lagi berdebu, dia mengulur­kan tangannya ke langit (sera­ya mengucapkan), “Wahai, Tuhanku! Wahai, Tuhanku! (Berdoa kepada Allah), padahal makanannya barang haram, minum­an­nya barang haram, yang dipakai­nya barang haram, yang di­pakainya barang haram, dan diberi makan barang haram, maka bagaimana akan dikabul­kan doanya yang demikian itu?” (HR Muslim)

Yuk, mawas diri. Kita mulai dari diri kita dan keluarga. Pas­tikan bahwa rezeki yang kita nafkahkan adalah halal dan baik; tidak hanya zatnya, tetapi juga pemerolehannya.

Mungkin ada orang yang pada saat ini mengalami kesu­litan ekonomi karena terdampak Covid-19. Untuk mengatasinya, di­tempuhlah usaha berjualan kecil-kecilan. Misalnya, berjual­an kue.

Pada awalnya dia “kulakan”. Banyak orang yang suka sampai dia kewalahan menerima pesanan. Nah, terpi­kir­lah keuntungan yang berlipat ganda jika membuat sendiri. Kemudian, dia pun membuat sendiri. Kue “kulakan” dicam­pur dengan buatan sendiri. Ma­sih laku laris manis. Tambah semangat! Lama-lama, kue yang dijualnya hanya kue buatan sen­diri. Namun, beberapa saat kemudian, pembeli merasakan ada perbedaan kualitas. Aki­batnya, mereka “kapok” mem­be­linya.

Mungkin ada yang meng­gunakan cara lain. Ketika pro­mosi, kue yang dicoba memang enak sehingga banyak yang me­me­sannya. Namun, kue yang dijual sesungguhnya tidak se­enak yang dipromosikan ka­rena bahannya berkualitas lebih rendah. Hal ini dilakukan demi memperoleh keuntungan yang lebih banyak. Akibatnya, pem­beli kecewa dan banyak yang membatalkan membelinya atau mengu­rangi jumlah yang di­belinya.

Di dunia, orang yang mencari rezeki dengan cara haram menerima hukuman langsung. Mungkin ada di antara mereka yang baru menerima hukuman sete­lah kaya. Bahkan, ada yang sampai meninggal sepertinya tidak menerima hukuman atas tindakannya. Namun, mereka pasti dimintai pertanggung­ja­wabannya oleh Allah.

Kita harus menumbuh­kembangkan keberanian pada keluarga kita, termasuk anak kita, untuk biasa menanyakan apakah rezeki yang diterima­nya halal dan baik. Sebagai orang tua, kita pun perlu me­na­nyakan harta yang dimiliki anak apakah diperolehnya dengan cara halal atau haram, dan anak yang kita tanya de­mikian justru berterima kasih sebab pertanyaan tersebut hakikatnya merupakan salah satu bentuk pengamalan fir­man Allah dalam surat at-Tahrim (66): 6.

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api ne­raka ….”

Mari secara jujur kita ber­tanya kepada nurani kita: ada­kah doa kita untuk kita sendiri dan keluarga yang sampai saat ini belum atau tidak dikabul­kan? Jika ada, boleh jadi, satu di antara penyebabnya adalah ada makanan dan minuman haram yang masuk ke dalam perut kita; juga pakaian yang kita gunakan adalah yang ha­ram dari cara memperolehnya! Allahu a’lam!

*Mohammad Fakhrudin, dosen Universitas Muhammadiyah Purworejo

Sumber: https://www.suaramuhammadiyah.id/2020/06/05/berlindung-dari-doa-tak-didengar/

 

sumber : Suara Muhammadiyah
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement