REPUBLIKA.CO.ID, MADINAH -- Beberapa orang kaum Muslimin mengadu kepada salah seorang sahabat Nabi yang senior, Abdurrahman bin Auf. Mereka mengadukan, "Umar bin Khattab telah menimbulkan takut kami, sehingga mata kami tak kuat memandang matanya."
Pengaduan itu disampaikan Aburrahman bin Auf. Lalu Umar berkata, "Benarkah mereka berkata demikian? Demi Allah, telah saya coba untuk membuat lunak, sehingga lantaran lunak itu saya takut dimarahi Allah. Telah saya coba pula keras, sehingga saya pun telah takut pula Allah marah kepada saya. Bagaimanakah lagi? Bagaimanakah nasib saya ini makanya berbeda benar dengan mereka?"
Kemudian, ada seorang laki-laki Quraisy bertemu dengan Umar bin Khattab. Dia berkata, "Bersikap lunaklah kepada kami. Sebab kami sudah amat gentar melihatmu!"
Umar menjawab, "Adakah di situ tersimpan perbuatan saya yang zalim?"
"Tidak" jawab laki-laki itu.
Umar berkata, "Kalau demikian, biarlah Allah menambah takut dalam hatimu kepadaku."
Meski ditakuti dan disegani oleh rakyatnya, Umar bin Khattab adalah seorang pemimpin yang selalu berusaha untuk rendah hati. Dikisahkan, Umar memikul tempat air di pundaknya sendiri.
Sahabat-sahabatnya bertanya, "Mengapa tuan memikul ini sendiri?"
Umar menjawab, "Saya merasa bahwa diriku telah merasa sombong, lalu saya memikul air ini untuk menundukkannya."
Prof Hamka (Buya Hamka) dalam bukunya yang berjudul Sejarah Umat Islam, tentang Umar bin Khattab, mengatakan, Umar sangat cinta kepada rakyatnya. Kebijakannya menimbulkan cinta di dalam takut. Sama pandangannya antara kaya dan miskin.
Orang kuat tidak berani mengambil hak si lemah lantaran ada Umar. Dan, si lemah tidak takut akan binasa sebab ada Umar sebagai pembelanya.
Umar sangat bijak meletakkan sesuatu pada tempatnya. Kadang-kadang keras sikapnya dan kadang-kadang lemah lembut.
Sumber: Sejarah Umat Islam / Prof Hamka (Buya Hamka)