REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat Rasulullah SAW akan bermubahalah dengan utusan kaum Nashrani dari Najran, cucunya al-Hasan dan al-Husain ikut serta mendampingi. Awalnya, Rasulullah mengirim surat kepada kaum itu yang berisi seruan untuk masuk Islam.
Dikutip dari buku Hasan dan Husain the Untold Story karya Sayyid Hasan al-Husaini, Setelah surat itu tiba, mereka pun memutuskan mengirim 14 utusan yang berasal dari kalangan bangsawan.
Setibanya di Madinah, para utusan itu langsung menemui Rasulullah, mereka mengucapkan salam kepada beliau, dan beliau menjawab salam mereka. Setelah itu Rasululah melakukan tanya jawab dengan mereka dan menyeru mereka untuk masuk Islam.
"Ketahuliah, kami sudah menjadi orang-orang Muslim (berserah diri kepada Allah) sebelum kalian ada!" ujar mereka.
Mendengar hal itu, Nabi membantah klaim mereka: "Kalian tidak bisa dikatakan telah berserah diri kepada Allah karena ada tiga hal pada diri kalian. Pertama, kalian menyembah salib, kedua kalian memakan daging babi, dan ketiga kalian mengklaim Allah mempunyai anak".
Akhirnya, terjadilah perdebatan sengit antara beliau dengan para utusan tersebut. Kepada mereka, Nabi membacakan ayat-ayat Alquran dan membantah kebatilan mereka dengan hujah yang tidak bisa dipatahkan. Salah satunya, Rasulullah menerangkan siapa Isa sebenarnya, beliau mengatakan kepada mereka:
"Sesungguhnya Isa adalah hamba dan Rasul Allah, ia adalah kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam si perawan".
Mendengar pernyataan itu, mereka naik pitam dan berkata: "Pernahkah Anda melihat seorang manusia lahir tanpa mempunyai ayah! Jika Anda benar, beritahukan kepada kami siapakah dia?"
Allah subhanahu wa ta'ala lalu menurunkan firman-Nya, sebagai bantahan terhadap mereka: "Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa bagi Allah, seperti (penciptaan) Adam. Dia menciptakannya dari tanah, kemudian Dia berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu. Kebenaran itu dari Tuhanmu, karena itu janganlah engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu", Alquran surah Ali Imran 59-60.
Firman Allah ini merupakan hujah yang sangat kuat dan tidak terbantahkan. Di dalamnya, Allah menyamakan sesuatu yang menurut mereka 'aneh' dengan hal lain yang 'lebih aneh'. Karena perdebatan dengan hikmah dan santun tidak menyadarkan mereka, akhirnya Nabi mengajak mereka bermubahalah. Mubahalah sendiri disebutkan dalam firman-Nya:
"Siapa yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah (Muhammad), 'Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istrimu, kami sendiri dan kamu juga, kemudian marilah kita ber-mubahalah agar laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta'", Alquran surah Ali Imran ayat 61.
Adapun mubahalah merupakan salah satu bentuk penyelesaian ketika perdebatan antara pihak yang benar dan salah mengalami kebuntuan. Setiap pihak mendoakan keburukan (laknat) bagi diri sendiri apabila ternyata dirinya yang salah dan lawannya yang benar.
Nabi kemudian menghampiri mereka sambil memegang tangan Ali, menggendong al-Hasan dan al-Husain di balik selimut beliau, sementara Fathimah berjalan di belakangnya. Nabi ingin mengajak utusan tersebut bermubahalah. Nabi berkata pada Ahlul Baitnya: "Saat aku berdoa nanti, aminilah".
Nyali para utusan Nashrani Najran itu pun ciut. Sambil berbisik-bisik, mereka mengatakan: "Janganlah kalian bermubahalah dengannya. Demi Allah, kalau dia benar-benar seorang Nabi, lalu kita saling melaknat dengannya, niscaya kita tidak akan menang".
Akhirnya, mereka tidak mau bermubahalah dengan Rasulullah. Mereka berkata: "Begini saja, putuskanlah apa yang Anda mau dari kami (selain masuk Islam)". Nabi lantas berdamai dengan Nashrani Najran, dengan syarat mereka harus membayar jizyah.