Selasa 26 May 2020 02:40 WIB

Produk Budaya Perpaduan Islam dan Budaya Lokal Kalimantan

Islam berselaras dengan budaya lokal di Kalimantan.

Islam berselaras dengan budaya lokal di Kalimantan. Masjid Raya Darussalam Palangka Raya berornamen khas dayak.
Foto: Republika/Muhyiddin
Islam berselaras dengan budaya lokal di Kalimantan. Masjid Raya Darussalam Palangka Raya berornamen khas dayak.

REPUBLIKA.CO.ID, Datangnya Islam identik dengan datangnya kebudayaan baru, yang akan berinteraksi dengan kebudayaan lama dan mengubah unsur-unsur kebudayaan lama.

Menurut Mundzirin Yusuf dkk, dalam Islam dan Budaya Lokal, hubungan agama dan kebudayaan dapat digambarkan sebagai hubungan yang berlangsung secara timbal balik.

Baca Juga

Agama secara praksis merupakan produk dari pemahaman dan pengalaman masyarakat, berdasarkan kebudayaan yang telah dimilikinya. Sedangkan kebudayaan, selalu berubah mengikuti agama yang diyakini oleh masyarakat. 

Agama-agama besar, termasuk Islam, selalu mengalami proses domestikasi, yaitu pemahaman dan pelaksanaan agama, disesuaikan dengan konteks dan kemampuan masyarakat lokal. 

Dalam konteks dinamika dan sejarah perkembangan Islam di nusantara, fakta menegaskan, Islam memiliki kemampuan 'menganeksisasi' budaya-budaya lokal tanpa mengubah penampakannya, lalu mengisinya dengan nilai-nilai keislaman hingga menjadi kebudayaan yang kaya dan beragam.

Bahkan, dalam titik tertentu, semakin menunjukkan universalitas Islam yang bisa berselaras dengan dinamika dan perubahan tempat dan zaman (Bizawe: 2015).

Terdapat banyak bentuk akulturasi budaya, yang memadukan nilai-nilai Islam dan budaya lokal, dengan tanpa menegasikan 'pihak kedua', justru memperkuat budaya itu dengan aspek-aspek religi.

Interaksi Islam dengan budaya, terutama budaya lokal Kalimantan, khususnya Dayak, memberikan warna tersendiri yang khas. Kekhasan ini tecermin dari budaya oloh salam sebagai manusia pendukungnya di tanah Dayak, Kalimantan Tengah.

Beberapa aspek budaya oloh salam yang khas tersebut meliputi upacara kehidupan, yang disebut juga gawi belum dan upacara kematian atau gawi matei serta aspek seni.

Misrita S Kalang dalam Oloh Salam: Rona Kehidupan Dayak Islam Di Kalimantan Tengah menjelaskan tidak ada petunjuk yang jelas kapan munculnya istilah oloh salam dalam budaya Dayak, akan tetapi dari berbagai sumber data, dapat diduga munculnya istilah oloh salam dapat dilacak sejak awal masuknya Islam di Kalimantan, atau setelah kedatangan para kolonial di Kalimantan. 

Banyaknya sistem tali air berupa sungai-sungai besar yang menjadi akses jalan di Kalimantan, memberikan pengaruh yang amat besar bagi perkembangan masyarakat asli, yaitu Dayak dan Banjar baik secara ekonomi, sosial, maupun budaya.

Demikian juga, proses konversi agama suku Dayak dari agama helo (kaharingan) ke Islam merupakan sebuah imbas dari terbukanya, jalurjalur sungai yang panjang dari pahuluan sampai hilir. 

Meski oloh salam sebagai orang Dayak sudah memilih jalan Islam, masih terdapat sisa-sisa kepercayaan primitif tercampur dengan unsurunsur agama yang dahulu kala dianutnya. 

Bagaimanakah ekspresi suku Dayak yang telah memeluk Islam, terkait dengan kehidupan sosial budayanya. Terdapat kecenderungan pembentukan pola perilaku kehidupan sosial budaya Dayak Islam yang bersifat khas. Sebagaimana yang terlihat di berbagai dimensi kehidupan, seperti dalam gawi belum berupa upacara kelahiran, pengobatan, perkawinan, sedekah laut; gawi matei berupa upacara kematian. 

Contoh kuatnya, hasil pertukaran budaya Islam dan budaya lokal di Kalimantan adalah kesenian hadrah dan rudat. Sinoman Hadrah dan Rudat bersumber dari budaya, yang dibawa oleh pedagang dan pendakwah Islam dari Arab dan Parsi dan berkembang campur, menjadi kebudayaan pada masyarakat pantai pesisir Kalimantan Selatan hingga Timur. 

Ahmad Ananda Alim Pratama dalam Budaya di Kalimantan Selatan menjelaskan, sebagai salah satu kesenian Islam yang sudah berusia puluhan tahun, kesenian hadrah masih sering ditampilkan pada beberapa daerah di Kalimantan Selatan. Pembinaan dan kegiatan lomba menjadi salah satu cara, agar hadrah tetap lestari dalam kesenian tradisional religius Banjar.

Proses pergumulan serta persentuhan budaya Islam dan budaya lokal itu, menurut Irwan Abdullah dan Azyumardi Azra dalam Islam dan Akomodasi Kultural, dalam proses penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa Islam tidak hanya melakukan penjinakan (domestikasi) terhadap dirinya sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, tetapi juga mengeksploitasi sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal, yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai Islam yang ortodoks. Dalam proses ini, para penyebar Islam memanfaatkan pranata lokal sebagai infrastruktur bagi pertumbuhan tradisi Islam.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement