REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- "Wahai sekalian orang-orang yang beriman, tobatlah kamu kepada Allah dengan sungguh-sungguh" (QS at-Tahrim: 8).
Seruan Allah kepada kita supaya bertobat kepada-Nya tidak menunjukkan bahwa Allah SWT membutuhkan kita. Justru sebaliknya. Kitalah yang membutuhkan ampunan-Nya.
Seruan Allah kepada hamba-hamba-Nya supaya bertobat menggambarkan kasih sayang-Nya. Bila kita sambut seruan Allah SWT ini maka Dia mencurahkan perhatian-Nya melebihi curahan perhatian dari siapa pun terhadap kita. Dia memperhatikan kita melebihi perhatian seorang ibu terhadap anaknya.
Melampaui perhatian manusia terhadap harta benda yang dicintainya. Bersabda Rasulullah saw, ''Sesungguhnya Allah lebih suka menerima tobat seorang hamba-Nya melebihi kesenangan seseorang yang menemukan kembali dengan tiba-tiba untanya yang telah hilang di tengah hutan,'' (HR Bukhari-Muslim).
Mereka yang memohon ampun kepada Tuhannya merupakan hamba-hamba yang mengenal siapa dirinya. Bahwa, ia dan segala yang ada pada dirinya adalah milik Allah SWT semata.
Segala kemampuan yang mungkin ia miliki tidak lain hanyalah pinjaman sementara sebagai sarana untuk menguji manusia, apakah hamba-hamba-Nya masih tahu diri dengan tidak melupakan-Nya. Kalaupun ia merasa telah banyak melakukan amal kebajikan, ia akan segera sadar bahwa itu pun belum cukup untuk menebus nikmat yang telah Allah curahkan pada-Nya, apalagi untuk membeli surga-Nya.
Karena itu, seruan Allah SWT supaya bertobat kepada-Nya harus kita sambut dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan bertobat yang sungguh-sungguh. Berhenti melanggar ayat-ayat-Nya dalam usaha pemenuhan segala kebutuhan hidup; tidak menipu, korupsi, memfitnah, dan lain sebagainya, bertekad tidak mengulangi kesalahan yang mungkin pernah telanjur kita perbuat. Bila ada orang atau pihak-pihak lain yang mungkin terzalimi akibat perbuatan kita, maka segera memohon maaf.