Sabtu 23 May 2020 08:26 WIB

Pendapat Soal Kehalalan Hasil Perubahan Zat

Istihalah adalah perubahan suatu benda dari wujud aslinya menjadi benda lain.

Rep: Ali Yusuf/ Red: Muhammad Hafil
Pendapat Soal Kehalalan Hasil Perubahan Zat. Foto: Bersuci/ilustrasi
Foto: thedailysheeple.com
Pendapat Soal Kehalalan Hasil Perubahan Zat. Foto: Bersuci/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selain samak, metode kedua untuk mensucikan benda najis adalah istihalah. Manshur bin Yunus al-Buhuti mendefinisikan istihalah sebagai berikut:

"Berubahnya suatu benda dari tabiat dan sifatnya atau tidak adanya ketetapan."

Baca Juga

Ustaz Isnan Ansory, Lc. M.Ag dalam bukunya "Cara Mensucikan Benda Najis" mengatakan maksudnya istihalah adalah perubahan suatu benda dari wujud aslinya menjadi benda lain yang berbeda zat dan sifatnya. Dan perubahan zat dan sifat itu berpengaruh kepada perubahan hukumnya.

"Artinya, bila benda najis mengalami perubahan zat dan sifat menjadi benda lain yang sudah berubah zat dan sifatnya, maka benda itu sudah bukan benda najis lagi," katanya.

Pada dasarnya, para ulama tidak satu suara tentang apakah setiap benda najis yang sudah berubah menjadi benda lain, akan hilang kenajisannya. Di mana secara umum, Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa istihalah dapat mengubah hukum najis pada satu benda menjadi tidak najis.

"Sedangkan Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa najis ‘ain seperti babi, meski sudah mengalami perubahan total, hukumnya tidak berubah menjadi suci," katanya.

Ustaz Isnan menyampaikan di antara contoh perubahan sebuah zat kepada zat lain dalam sebuah proses istihalah adalah perubahan air mani, ‘alaqah, dan mudhghah menjadi manusia. Dalam hal ini, meskipun mayoritas ulama berpendapat bahwa air mani, ‘alaqah, dan mudhghah adalah najis, namun jika sudah berubah menjadi manusia, maka status kenajisannya berubah menjadi suci.

"Di mana memang mayoritas ulama sepakat bahwa tubuh manusia adalah suci," katanya .

Proses perubahan dan penciptaan manusia tersebut, dijelaskan oleh Allah swt dalam Alquran surah Al-Mukminun ayat 41 yang artinya.

“Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”

Contoh lain istihalal yaitu perubahan khamer nenjadi cuka merupakan. Para ulama sepakat bahwa khamer yang menurut mayoritas ulama berstatus najis dapat menjadi suci jika berubah (istihalah) menjadi cuka.

Hanya saja Syafi’i dan Hanbali mensyaratkan perubahannya terjadi dengan sendirinya bukan melalui keterlibatan manusia, misalnya dengan cara dimasukkan ke dalamnya cuka, bawang, atau garam. Di mana keterlibatan manusia itu memang diniatkan secara sengaja untuk merubah khamer menjadi cuka.

Dasar mereka adalah hadits berikut:

Dari Abi Thalhah ra bahwa dirinya bertanya kepada Rasulullah saw tentang anak-anak yatim yang menerima warisan khamar. Rasulullah saw bersabda, “Buanglah”. Dia bertanya lagi, “Tidakkah sebaiknya khamar ini diubah menjadi cuka?”. Beliau saw menjawab, “Tidak”. (HR. Abu Daud).

Adapun Hanafi dan Maliki tidak mensyaratkan perubahan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya meskipun melalui keterlibatan manusia dan khamer dapat berubah menjadi cuka, maka cuka itu tetap dianggap suci. Sebab bagi mereka ‘illah kesuciaannya adalah hilangnya unsur iskar (memabukkan) dari khamer. Dan berubahnya khamer menjadi cuka dengan sendirinya maupun melalui keterlibatan manusia, secara faktual telah menghilangkan unsur iskar-nya.

Di samping itu mereka juga berargumentasi dengan menggunakan qiyas, yaitu mengqiyaskan kesucian cuka kepada kesucian anggur yang berstatus suci. Hingga ketika telah berubah menjadi khamer, status kesuciannya berubah menjadi najis. Di mana perubahan itu terjadi karena adanya unsur iskar.

Perubahan babi menjadi garam merupakan istihalah. Sebagaimana khamer, para ulama juga berbeda

pendapat apakah istihalah dapat merubah zat babi dan benda lainnya yang secara zat adalah najis menjadi zat lain yang suci.

Pendapat Mazhab Pertama: Dapat disucikan.

Mazhab Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa kenajisan babi bisa berubah menjadi suci manakala telah mengalami perubahan wujud secara total. Seperti babi yang mati dan menjadi bangkai, lalu

dibakar, tapi bukan dijadikan barbekyu atau sate babi.

Pembakarannya dilakukan terus menerus sampai ludes hingga gosong segosong-gosongnya, sehingga ke-babiannya sudah hilang lantaran sudah jadi arang lalu menjadi abu. Di masa lalu secara tradisional orang-orang membuat garam dari arang atau abunya.

Ketika sudah menjadi arang, maka unsur-unsur ke-babiannya sudah hilang, lantaran wujud babi itu sudah tidak ada lagi. Dan dari arang itu, kemudian diproses lagi sehingga menjadi bahan pembuat garam, maka garam itu sudah tidak lagi najis.

Pendapat Mazhab Kedua: Tidak dapat disucikan.

Mazhab Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwasecara mutlak, benda yang berstatus najis ‘ain seperti babi, meski sudah mengalami perubahan total,

hukumnya tidak berubah menjadi suci.

Dasar mereka adalah larangan Rasulullah saw untuk memakan daging jallalah (HR. Tirmizi).

Sebab daging jallalah ini meskipun asalnya suci, namun karena memakan najis, maka statusnya menjadi

najis. Artinya perubahan benda najis yang dimakannya kemudian menjadi daging yang asalnya suci, tidak serta merta menjadikannya suci. Itu sebabnya, Rasulullah saw melarang untuk memakannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement