REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dialah Abu Dzar al-Ghifari, salah seorang sahabat Rasulullah SAW. Seperti para sahabat umumnya, ia dikenang lantaran kesalehannya. Akan tetapi, satu hal yang membuatnya tampak mencolok. Ia memiliki diingat lantaran perjuangannya menyuarakan orang-orang miskin, apalagi yang direnggut haknya.
Nama aslinya adalah Jundub bin Junadah ar-Rabazi. Sebutan kabilah al-Ghifari di belakang namanya merupakan eponim dari Ghifar bin Mulail, seorang tokoh kabilah Adnan.
Abu Dzar--bersama dengan Abdullah bin Mas'ud--dipandang sebagai ahli hadis terkemuka. Dialah, misalnya, yang memperjelas bahwa ucapan ''assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh'' itu adalah produk budaya Islam, bukan budaya Arab. Sebab, memang orang-orang Arab sebelum Islam tak mengenal perkataan itu.
Sifat yang selalu ditunjukkan Abu Dzar adalah pemihakannya kepada kaum miskin. Sifat ini juga diperlihatkannya kendati yang dihadapi adalah para pejabat.
Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, misalnya. Ia melihat ada gejala-gejala kesenjangan sosial di kalangan Muslimin. Hatinya memberontak. Sahabat Nabi ini menyarankan kepada Khalifah supaya keadaan demikian ini dirombak.
Kritik Abu Dzar kepada Khalifah Utsman bukan tanpa sebab. Khalifah Utsman, tokoh pedagang kaya yang jujur dengan berbagai sifat-sifat terpuji. Kendati sosok berjulukan dzun nurain itu tak pernah terdengar suka membanggakan diri, ia punya kelemahan. Sifat lemah-lembut dan perasaannya yang halus itu membuat ia selalu berusaha untuk tidak menyakiti hati orang.
Tatkala menggantikan Umar sebagai khalifah ketiga, Utsman tampaknya lebih longgar. Kaum Muslimin yang bermigrasi ke luar dibolehkan kembali ke Madinah dengan membawa kekayaan --yang di masa Umar dilarang. Alhasil, mereka yang hidup lebih mewah terlihat lebih mencolok di samping sebagian kaum Muslimin yang masih hidup miskin dan serba kekurangan.
Ketika itulah Abu Dzar mengecam kebijakan Khalifah Usman. Juga ia melancarkan kritik dalam soal pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara.
Untuk menghindari pertikaian, Khalifah Utsman meminta Abu Dzar pergi ke Syam. Ternyata, apa yang dilakukannya di Madinah juga disampaikannya pula kepada Gubernur Syam, Muawiah bin Abi Sufyan, yakni supaya menyantuni kaum fakir miskin.
Sementara ia menyebarkan seruannya itu, Muawiah mencoba menguji kesungguhan niat Abu Dzar. Ia mengutus orang membawa uang buat dia seribu dinar dan memberi isyarat supaya keesokannya uang itu diambil kembali disertai permintaan maaf bahwa uang itu dimaksudkan untuk yang lain.
Namun, ternyata uang itu oleh Abu Dzar sudah dibagi-bagikan kepada kaum fakir miskin. Muawiah yakin bahwa Abu Dzar memang bersungguh-sungguh dengan seruannya itu.
Abu Dzar kemudian kembali ke Madinah atas permintaan Khalifah Utsman. Ia tinggal di Rabzah, sebuah desa kecil di dekat Madinah sampai akhir hayatnya, pada tahun 32 atau 33 H (652 M). Hingga akhir hayatnya, pemihakannya kepada kaum fakir miskin tak pernah luntur.